Pada 2019, sejumlah pesepak bola papan atas, dalam dan luar negeri, mengambil salah satu keputusan penting mereka yakni gantung sepatu. Sebagian di antara mereka pernah mencicipi prestasi puncak, sedangkan beberapa di antaranya pernah menjulang namanya kemudian harus melewatkan masa tua di klub-klub kecil.
Inilah daftar aktor lapangan hijau yang gantung sepatu pada 2019:
1. Xavi Hernandez Creus
Xavi merupakan sosok yang disebut-sebut merupakan salah satu pemain terbaik Spanyol sepanjang masa. Gelandang bertubuh mungil untuk ukuran Eropa itu (170 cm) bergelimang gelar saat membela klub Katalan Barcelona.
Di Barca, Xavi membawa klub itu memenangi delapan gelar Liga Spanyol, tiga Piala Raja, dan enam Piala Super Spanyol.
Kedigdayaan Xavi dan Barcelona tidak terhenti di kancah domestik, panggung Eropa juga menjadi ranah tempat ia mendulang prestasi. Tercatat Xavi empat kali membawa Barcelona menjuarai Liga Champions, dua kali Piala Super Eropa, dan dua kali Piala Dunia Antar Klub.
Nama pemain yang juga diidolakan oleh legenda Moto GP Valentino Rossi itu juga harum saat membela timnas Spanyol. Bahu membahu bersama sebagian pemain Barca dan Real Madrid, Xavi merupakan sosok penting saat Spanyol merajai Eropa dan dunia pada satu dekade silam.
La Furia Roja dibawanya menjadi kampiun Piala Eropa 2008 dan 2012, serta Piala Dunia 2010. Suatu pencapaian yang sulit diulangi timnas Spanyol saat ini dan tahun-tahun mendatang.
“It’s a bird… It’s a plane… It’s a Robin van Persie”
Pelesetan kutipan judul drama musik yang mengambil dasar dari tokoh Superman itu kadung menjadi sesuatu yang melekat kepada pemain internasional Belanda yang pada Mei 2019 memutuskan pensiun, Robin van Persie.
Asalnya adalah aksi heroik Van Persie saat mengemas gol Belanda ke gawang tim juara bertahan Spanyol pada pertandingan pertama Grup B Piala Dunia 2014.
Saat itu Belanda telah tertinggal 0-1 akibat gol penalti Xabi Alonso. Menjelang babak pertama usai, Daley Blind mengirimkan umpan silang dari sisi kiri tertuju ke depan kotak penalti, bola kemudian disundul oleh Van Persie, untuk kemudian memicu kebangkitan tim Oranye. Saat peluit panjang berbunyi, Belanda mengamankan kemenangan besar 5-1.
Tentu saja gol itu bukan merupakan satu-satunya keistimewaan Van Persie. Di level klub, jasa dan tenaga Van Persie berperan besar bagi klub-klub yang pernah dibelanya.
Nama Van Persie mulai dikenal banyak orang setelah ia pindah dari klub kota kelahirannya Feyenoord Rotterdam ke Arsenal pada Mei 2004. Di bawah asuhan manajer The Gunners saat itu, pamor Van Persie langsung melejit terlebih saat Arsenal mampu mengakhiri musim 2004/2005 dengan menjadi juara Piala FA.
Petr Cech sempat sangat identik dengan Chelsea, serta helm rugbynya, sebelum kemudian menyeberang ke klub London lain Arsenal.
Mengawali karier profesional di klub Ceko Chmel Blsany, Cech kemudian pindah ke klub yang lebih besar Sparta Praha, dan berlanjut ke tim Prancis Rennes.
Kepiawaian Cech mengawal gawangnya membuat dirinya diminati Chelsea yang sedang mencoba mengukuhkan diri sebagai raksasa sepak bola setelah dibeli taipan Roman Abramovich pada 2004. Awalnya tawaran untuk Cech ditolak Rennes, namun kemudian pada Februari klub itu setuju untuk menjual Cech ke The Blues.
Cech didatangkan ke Chelsea dengan nilai transfer sebesar tujuh juta pound, yang membuatnya menjadi kiper termahal sepanjang sejarah Chelsea saat itu.
Saat tiba di Chelsea, kiper utama mereka sebenarnya adalah Carlo Cudicini. Namun kiper asal Italia tersebut mengalami cedera siku saat pramusim, dan manajer Chelsea saat itu Jose Mourinho mempromosikan Cech sebagai kiper inti.
Dan setelah itu posisinya hampir tidak tergantikan.
Bastian Schweinsteiger awalnya harus memilih akan menekuni olahraga ski atau sepak bola. Entah nasib baik atau buruk, ia kemudian menekuni sepak bola yang membawa namanya menjulang tinggi.
Mengawali karier profesionalnya di tim muda Bayern Munich pada 1998, pemain yang kerap dipanggil “Schweini” ini perlahan-lahan masuk dan mendapat kepercayaan untuk mengisi tim utama Bayern.
Total 17 tahun ia habiskan di Bayern dengan sejumlah pencapaian penting. Klub Bavaria itu dibawanya memenangi delapan gelar Liga Jerman, tujuh gelar Piala Jerman, dan satu kali juara Liga Champions.
Setelah puas berbakti untuk Bayern, ia memutuskan untuk mencoba peruntungan di klub Inggris Manchester United pada 2015. Di United, Schweini tidak mendapat banyak kesempatan bermain. Ia bahkan sempat diturunkan ke tim U-23 oleh manajer Jose Mourinho.
Total selama berseragam United selama dua musim, ia hanya bermain sebanyak 18 kali. Namun ia tercatat turut membawa Setan Merah menjuarai Piala FA pada 2016.
Gagal di Inggris, Schweinsteiger membidik Liga AS. Ia pindah ke Chicago Fire pada 2017. Di Chicago, kontribusi Schweinsteiger terasa saat ia turut membawa klub itu mencapai playoff setelah lima tahun gagal sampai ke fase tersebut. Namun itulah pencapaian terbaiknya selama di AS.
Sepanjang karier profesionalnya, hanya Groningen satu-satunya klub yang dibela Arjen Robben yang tidak berlabel tim raksasa. Sisanya, ia mengukir tinta emas di semua klub yang pernah diperkuatnya.
Setelah namanya mencuat sebagai salah satu pemain muda menjanjikan di Groningen, Robben direkrut PSV Eindhoven pada 2002. Bermain dua musim di PSV, pemain sayap itu mempersembahkan satu gelar Liga Belanda.
Roda kehidupan kemudian membawa Robben berlabuh ke Chelsea yang baru setahun dibeli oleh taipan minyak Rusia Roman Abramovich. Dengan banderol 18 juta euro, The Blues membeli Robben dari PSV pada Agustus 2004, meski sang pemain sempat didekati oleh raksasa Inggris lainnya Manchester United.
Total tiga tahun Robben berseragam Chelsea. Di klub ibukota Inggris tersebut, ia kembali bertabur gelar dengan koleksi dua gelar Liga Inggris, satu Piala FA, dan tiga Piala Liga Inggris.
Penampilan apik di Chelsea membuat klub raksasa lain berminat menggunakan jasa Robben. Kali ini, presiden Real Madrid saat itu Ramon Calderon yang tertarik mendatangkan Robben. Melalui sejumlah pendekatan, Los Blancos sukses mengamankan tanda tangan sang pemain pada Agustus 2007.
Sulit untuk menempelkan satu atribut khusus dalam diri Bambang Pamungkas. Bagi para penggemar Persija ia merupakan sosok legendaris untuk membobol gawang lawan, bagi rekan-rekan setimnya Bambang merupakan sosok pemimpin, dan bagi kubu lawan sosok yang akrab dipanggil Bepe adalah pemain rival yang dikagumi.
Mulai mencuri perhatian banyak orang saat memperkuat tim Jawa Tengah pada Piala Haornas (Hari Olahraga Nasional) 1996, perjalanan nasib membawa Bepe ke Persija Jakarta tiga tahun kemudian.
Di Persija, Bepe yang saat itu masih berstatus pemain muda beruntung dikelilingi sosok-sosok pemain kelas satu. Macan Kemayoran saat itu dihuni oleh pemain-pemain langganan timnas seperti Budiman, Anang Ma’ruf, dan Widodo Cahyono Putro.
Setelah pada musim debutnya gagal menghadirkan gelar, Bepe sempat bergabung dengan klub strata ketiga Belanda EHC Norad. Namun karena berbagai kendala, ia kemudian memutuskan untuk dipinjamkan kembali ke Persija.
Keputusannya berbuah manis, Bepe berandil besar membawa Persija menjuarai Liga Indonesia musim 2001. Semakin istimewa karena pada laga final ia menyumbang dua gol saat Persija menang 3-2 atas PSM Makassar.
Bepe bertahan di Persija sampai 2005, di mana pada tahun itu ia menerima tawaran dari klub Malaysia Selangor FA. Di Malaysia, Bepe kembali pamer ketajaman dengan membawa klub berjuluk “Gergasi Merah” itu menjuarai Liga Malaysia serta Piala Malaysia.
Bepe kemudian kembali ke Persija pada 2007. Dalam perjalanannya sempat terjadi riak-riak antara dirinya dengan pengurus Persija yang membuat ia pindah ke Pelita Bandung Raya pada 2013.
Sayangnya catatan prestasi Bepe di level klub tidak mampu diulanginya di timnas sampai ia gantung sepatu. Timnas Indonesia hanya mampu dibawanya menjuarai turnamen persahabatan Piala Kemerdekaan pada 2000 dan 2008, turnamen yang gengsinya kalah jauh dari Piala AFF atau bahkan SEA Games. (ant)