“Tidak harus. Artinya, koalisi itu ‘kan ada dukungan atas kebijakan pemerintah. Ada posisi-posisi lain juga yang bisa disinergikan, tidak selalu di kementerian saya kira,” kata Bima Arya, di Jakarta, Minggu (16/2).
Hal tersebut disampaikannya usai diskusi “Evaluasi Publik dan Isu-Isu Nasional dalam 100 Hari Jokowi-Amin” yang digelar lembaga survei Indo Barometer.
Bima menegaskan bahwa PAN tidak akan meminta-minta posisi di kabinet. Pasalnya, jika masuk dalam struktur kabinet, berarti harus ada reshuffle kabinet.
“Belum tentu juga Pak Jokowi akan mengadakan reshuffle dalam waktu dekat. Bagi kami itu bukan suatu yang kami tunggu atau sesuatu yang kami tuntut,” katanya.
Dalam konteks bekerja untuk rakyat pun, kata Wali Kota Bogor itu, tidak harus pula masuk ke gerbong koalisi pemerintahan sebab banyak kader yang menjabat di eksekutif.
“‘Kan begini, kami punya kader di eksekutif di daerah, ketua DPRD ada, DPRD Sultra itu kader PAN, wali kota banyak, bupati banyak juga. Bisa juga akselerasi di situ. Tidak harus (di dalam kabinet),” katanya.
Saat ini, Wakil Ketua Umum PAN periode lalu itu mengatakan bahwa partainya masih membuka semua opsi, baik menjadi oposisi maupun bergabung dengan koalisi pemerintahan yang akan diputuskan di rapat kerja nasional.
“Kami tidak menunggu tawaran. Saat ini, kami membuka semua opsi itu, tidak mematok PAN harus di luar, di dalam pun sama saja,” katanya.
Yang jelas, Bima menjelaskan bahwa besar kecilnya dan jatuh-bangunnya partai sebenarnya ditentukan bagaimana melakukan konsolidasi, bukan dengan konteks hubungan dengan pemerintah.
Menurut dia, semangat yang digelorakan PAN adalah bagaimana bisa melakukan akselerasi dengan program-program yang berpihak kepada rakyat.
“Saya harus akui semangatnya sekarang bagaimana PAN ini bisa melakukan akselerasi dengn program-program yang berpihak kepada rakyat. Kalaupun itu jadi bagian pemerintah, tentu kami akan lakukan itu,” kata Bima. (net)
Editor Deden .GP