“Program yang paling banyak disorot masyarakat adalah kartu pra-kerja. Program ini sebenarnya sangat tepat dan pas apabila diterapkan dalam situasi normal, karena konsep dasar program ini lebih untuk menyiapkan calon angkatan kerja baru atau untuk mencetak wirausahawan baru. Namun, menjadi kurang tepat sebagai jurus penanggulangan dampak pandemi COVID-19,” kata La Nyalla di Surabaya, Senin (27/4).
Mantan Ketua Kadin Jatim ini mengakui kurang tepatnya program itu setelah dirinya bertemu dengan sejumlah elemen masyarakat dalam upaya pengawasan dan pemantauan situasi lapangan di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur.
La Nyalla mengakui situasi saat ini berbeda drastis, dan banyak dunia usaha yang kolaps, daya beli masyarakat turun, PHK resmi maupun tak resmi, dengan pola karyawan dirumahkan dan ada jutaan jumlahnya.
Saat ini, kata dia, orang hanya butuh uang untuk sekadar makan, khususnya di kota dan wilayah urban yang cukup tinggi.
“Mereka tidak butuh dibelikan modul pelatihan pemerintah, tetapi substitusi atas kehilangan penghasilan karena terkena PHK atau dirumahkan,” katanya.
Sisanya, kata dia, untuk membayar mitra pemerintah, sehingga perlu dievaluasi agar semua dialihkan ke masyarakat.
“Prioritas kita masyarakat tersubstitusi atas hilangnya mata pencaharian mereka,” katanya.
“Nah apalagi kalau dirasa sangat terbatas, seharusnya sangat selektif dan efektif penggunaannya. Bayangkan biaya survei Rp800 miliar. Angka ini besar lho kalau dibelikan beras. Sebaiknya prioritas sekarang masyarakat yang miskin, yang kesulitan untuk makan, harus dijamin bisa makan,” katanya. (net)