JAKARTA.BIPOL.CO – Jelang tahun politik 2024, rivalitas politik akan memengaruhi seluruh kehidupan masyarakat baik dari sisi ekonomi, sosial, kehidupan beragama, bahkan kerukunan antartetangga.
Perbedaan pilihan, kefanatikan terhadap kelompok, kepentingan sesaat dapat mendorong munculnya pemilih pragmatis yang akan menjadi batu ujian kematangan sebagai bangsa yang besar.
Data yang dikumpulkan Kelompok Sadar peserta Diklat PKA angkat 2 LAN RI dari berbagai sumber mengungkapkan, tahun 2024 akan mendorong mobilisasi sumber daya ekonomi yang dapat menjadi modal bagi bangkitnya ekonomi bangsa pasca Covid-19.
Namun, yang perlu disikapi dengan serius adalah konsekuensi kebijakan pemilu serempak yang akan menyebabkan kekosongan penjabat kepala daerah baik di tingkat gubernur, bupati atau wali kota.
Kebijakan pemeritah dengan mengangkat penjabat kepala daerah yang berasal dari birokrasi atau Polri yang mengacu pada UU No. 10/2016 tentang Pilkada dan disempurnakan dengan UU No. 6/2020 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walik ota.
Kebijakan tersebut ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pelayanan kepada masyarakat yang tidak boleh terhenti pada saat kebijakan pemilu serentak di implementasikan. Akan tetapi penjabat kepala daerah diharapkan memberikan pelayanan yang baik.
Pro dan Kontra
Penunjukan penjabat kepala daerah yang berasal dari unsur TNI dan Polri aktif masih menimbulkan pro dan kontra. Sebab dianggap melanggar ketentuan perundang-undangan, salah satunya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut anggota TNI dan Polri aktif dilarang menjadi penjabat kepala daerah.
Apabila merujuk Undang-Undang tentang Pilkada, maka siapapun yang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama, termasuk anggota TNI dan Polri, bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.
Alasan lain menyebutkan, penunjukan perwira TNI dan Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah adalah sebuah preseden buruk karena mengembalikan Indonesia pada era dwifungsi ABRI pada era orde baru dan memperkuat kontrol pemerintah pusat ke daerah.
Menko Polhukam Mahfud MD dan Wakil Komisi II DPR, Junimart Girsang bersikukuh bahwa merujuk ketentuan lain, yakni Undang-Undang tentang Pilkada, siapapun yang menjabat sebagai pimpinan tinggi pratama, termasuk anggota TNI, bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.
Dikutip dari BBC.com, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) sekaligus dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas, Andalas Feri Amsari menegaskan, pengangkatan anggota TNI aktif bertentangan dengan sejumlah aturan dan regulasi, yakni bertentangan dengan UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) serta Undang-Undang (UU) TNI dan UU Kepolisian.
Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu mengatakan, saat ini ada sekitar 4.262 Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya dan Pratama yang memenuhi kriteria untuk menjadi penjabat kepala daerah sebelum Pemilu 2024.
“Kalau ditotal ada sekitar 4.626 penjabat yang memenuhi kriteria untuk menduduki Pj,” kata Andi dalam acara talkshow Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) beberapa waktu lalu.
Data dari IDN Time
Dari ribuan pejabat yang memenuhi kriteria itu, hanya 622 pejabat memenuhi kriteria untuk menjadi penjabat gubernur menggantikan 7 gubernur pada 2022 dan menggantikan 17 gubernur pada 2023. Para pejabat itu berada di kementerian atau pusat sebanyak 588 orang dan di provinsi 34 orang.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Profesor Agus mengemukakan, penunjukan penjabat kepala daerah akan berdampak luas dan mempertaruhkan profesionalitas birokrasi dan ASN selama masa jabatannya. Menurutnya, perlu ada pencegahan kemungkinan penjabat kepala daerah menimbulkan disrupsi netralitas dimana membawa misi politik tertentu dan mempolitisasi birokrasi selama masa jabatannya.
Apalagi, kata dia, masa jabatan penjabat kepala daerah kali ini akan jauh lebih panjang ketimbang masa jabatan penjabat kepala daerah pada pilkada-pilkada terdahulu.
Sebagai bentuk antisipasi terhadap disrupsi netralitas tersebut, Agus mengungkapkan KASN telah mengirim laporan kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri, termasuk dengan menyampaikan nama-nama pejabat pimpinan tinggi di kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang memiliki rekam jejak melanggar netralitas di masa lalu.
Diharapkan, nama-nama pejabat tersebut dipertimbangkan Presiden dan Menteri Dalam Negeri agar tidak dipilih sebagai penjabat kepala daerah untuk meminimalisir potensi terjadinya politisasi birokrasi.
“Kita perlu melindungi birokrasi dan ASN agar tetap dapat bekerja secara independen dan tidak diseret dalam pusaran politisasi birokrasi, di samping memperhatikan akseptabilitas publik di daerah tersebut,” kata Agus.
Sementara, pendiri Institute Otonomi Daerah (i-OTDA), Djohermansyah Djohan saat diskusi bertema Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah Tahun 2022 dan 2023 mengungkapkan, akan menambah masalah baru bila pada daerah-daerah rawan konflik ditempatkan orang yang tidak tepat dalam memegang pemerintahan.
Menurut Djohermansyah, pakar pemerintahan daerah yang tergabung dalam Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) mendalami secara cermat apa saja akibat yang akan ditimbulkan ke depan, bila kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022-2024 diisi dari ASN.
“Bila pengangkatan penjabat kepala daerah ini tetap dilakukan, secara demokrasi sama saja kita lebih mundur dari zaman orba. Di zaman orba saja, kepala daerah masih dipilih lewat DPRD,” ujarnya.
Profesionalitas dan Netralitas
Pejabat kepala daerah yang berasal dari birokrasi akan menjadi figur yang telah mengenal fungsi dan layanan pemerintahan, untuk pertama kalinya mempunyai 272 kepala daerah profesional yang memahami fungsi brokrasi dan fungsi pelayanan dengan pengalaman pemerintah sehingga bukan harapan kosong untuk bermimpi melihat peningkatan kualitas pemeritahan dengan modal seperti itu.
Dari sisi netralitas, sebagai ASN tersumpah maka figur kepala daerah ini seharusnya terlepas dari kepentingan politik dan partisan.
Hal yang perlu disadari, saat ini birokrasi telah dikooptasi oleh kepentingan politik sehingga bahkan dalam proses penunjukan calon penjabat kepala daerah terjadi polemik karena akan berdampak pada hasil Pemilu Serentak 2024.
Untuk itu, pemerintah seharusnya menjamin sosok yang ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah adalah yang ditugaskan semasata-mata berdasarkan kemampuan.
“Bukankah ini saatnya untuk melihat miniature penerapan system merit secara utuh. Sebuah harapan yang menarik untuk ditunnggu dan dilihat hasilnya,” ungkapnya.
Dikataka, semangat pemilu serempak adalah semangat peningkatan kualitas demokrasi, maka peningkatan mutu birokrasi akan menjadi modal bagi pejabat terpilih yang baru untuk mendapat landasan yang lebih stabil, bersih dan kondusif.