BIPOL.CO, BANDUNG – Penertiban reklame bando jalan di berbagai daerah di Indonesia karena dinilai melanggar Permen PUPR. Pelarangan reklame pada bando jalan diatur dalam Permen PUPR No.20 Tahun 2010, pasal 18 ayat (3) yang bersanksi administratif.
Pemerhati Kebijakan Publik Aat Safaat Hodijat menilai, khusus di Kota Bandung, keberadaan reklame bando jalan telah menjadi trend reklame sebelum terbit Permen PUPR dan diatur dalam Perda No. 04 Tahun 2012 yang telah diubah dalam Perda No. 02 Tahun 2017 dan Perwal No. 015 Tahun 2019.
Meskipun konsideran hukum Perda dan Perwalnya mencantumkan Permen PUPR No. 20 Tahun 2010, Walikota dan DPRD dalam melakukan perubahan PERDA dan PERWAL mengesampingkan penerapan Pasal 18 ayat (3)nya sehingga reklame bando jalan yang berdiri di jalan kota baik sebelum atau sesudah terbit Permen PUPR dapat diberikan Izin Penyelengaran Reklame dan dipungut pajaknya karena Walikota sebagai penyelenggara jalan dan pemberi izin jalan kota.
“Khusus untuk jalan nasional, jalan provinsi dan ruas jalan tol yang berada di wilayah Kota Bandung, dapat diberikan izin penyelenggaraan reklame dan dipungut pajaknya apabila dari penyelanggara jalannya telah diberikan izin,” papar Aat Safaat Hodijat, di Bandung, Sabtu (4/3/2023).
Ia mengemukakan, adanya kebijakan PT Jasa Marga Related Bisnis anak perusahaan PT Jasa Marga sebagai pengelola asset jalan tol yang mulai tahun 2022 menghentikan perpanjangan sewa lahan untuk digunakan bando jalan tol baik yang berdiri sebelum atau sesudah terbitnya Permen PUPR yang masuk diruas jalan tol wilayah Kota Bandung yang dalam surat pemberitahuan PT JMRB ke pengusaha reklame bando jalan didasarkan atas arahan Kejari Cimahi karena dinilai melanggar Pasal 18 ayat (3) Permen PUPR No. 20 Tahun 2010. “Meskipun dalam Pasal 3-nya dinyatakan pengaturan tidak berlaku untuk ruas bagian jalan tol. Bisa jadi penafsiran atas implementasi pasal 18 ayat (3) antara Kejari di daerah berbeda-beda. Hal ini tampak jelas dalam kasus di PT JMRB,” kata mantan anggota DPRD Kota Bandung ini.
Menurut Aat Safaat, pemberian sanksi administratif pencabutan izin dalam Permen PUPR tersebut efektif jika pelanggaran terjadi di jalan nasional yang ada di wilayah hukum Kota Bandung karena penyelenggara jalan dan pemberi izinnya adalah langsung Kemen PUPR, tapi jika di jalan provinsi dan kabupaten/kota terjadi benturan dengan regulasi daerah karena Gubernur, Walikota/Bupati adalah pemberi izinnya yang melaksanakan Perda.
Untuk menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda di tiap daerah, tutur Aat Safaat, perlu duduk bersama semua pihak yang terlibat untuk menyikapi implementasi pasal 18 ayat (3). “Inisiatif bisa dilakukan oleh Kejaksaan selaku pengacara negara yang berwenang memberikan pendapat hukum kepada pemerintah. Karena bisa saja menjadi potensi hukum dikemudian hari,” ungkapnya.
Karena itu, imbuh Aat Sqfaat, perlu ada kamji ulang motif pelarangan reklame bando jalan oleh Kemen PUPR disesuaikan dengan dinamika perubahan trend usaha reklame.
Sebagai salah satu contoh, Aat menambahkan, berdirinya Sky Wallk Cihampelas yang pada bagian konstruksi yang melintang jalan, bagian lintasan jalan layang jadi tempat pemasangan reklame. “Jika alasan keselamatan pengguna jalan yang jadi pertimbangan utama, idealnya tidak boleh ada satupun konstruksi ringan atau berat apapun yang melintang jalan atau berada di pinggir jalan. Quo Vadis Bando Jalan…?,” pungkasnya.
Seperti diketahui, penempatan reklame dan papan iklan di Kota Bandung saat ini perlu dievaluasi. Untuk itu, pihak Pemkot Bandung akan menyusun naskah akademik berkaitan dengan Peraturan Daerah (Perda) Reklame di Kota Bandung.
“Kita tidak pernah anti investasi apapun termasuk investasi di bidang advertising. Namun reklame harusnya jadi aksesoris kota dan tidak menjadi sampah visual,” tutur Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema, di sele-sela meninjau sejumlah kawasan di Kota Bandung, Jumat 3 Maret. (Deddy)