BIPOL.CO, BANTEN – Tulisan ini menarik untuk disimak dan dipublikasikan kembali. Dengan judul: “Rakyat Banten: Soliditas Kultural dalam Melawan Kejahatan Agung Sedayu” (by Ali Syarief, March 8, 2025), adalah sebuah tulisan yang membakar semangat kepada masyarakat Banten untuk mempertahankan, memperjuangkan tanah tempat tinggal mereka yang diwariskan leluhurnya dari keserakahan penguasa atau orang-orang berduit atau lebih jauhnya dikenal dengan sebutan oligarki.
Seperti diketahui belakangan terungkap–yang berawal dari terungkapnya pemagaran laut di Tangerang, Banten. Laut dan pesisir pantai di daerah itu ternyata sudah dikapling-kapling. Bahkan sebagian besar sudah memiliki surat kepemilikan ataubbersetifikat yang diterbitkan ATR/BPN setempat–yang pada akhirnya BPN membatalkan sebagian sertifikat yang sudah kadung mereka miliki itu.
Seperti dilansir dari Bipol.co, sebanyak 193 sertifikat tanah di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, sudah dibatalkan.
Hal itu disampaikan Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid dalam keterangan pers usai menemui Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka Jakarta pada Senin (18/2/2025).
“Hari ini (Senin) juga yang di Tangerang, 193 sertifikat secara sukarela juga sudah diserahkan sama BPN dibatalkan secara sukarela, yang di atas laut,” bebernya, seperti dikutip dari Kontan.co.id Selasa, 18 Februari 2025.
Dengan begitu menurut Nusron, para pemilik secara sukarela telah meminta pembatalan sertifikat tanah tanpa adanya arahan dari Kementerian ATR/BPN.
“Jadi InsyaAllah semua yang di atas laut clean and clear, dibatalkan. Tidak perlu kami (minta) pembatalan. Mereka (pemilik sertifikat) yang bersangkutan sukarela minta dibatalkan,” tukasnya.
Sebelumnya, Nusron menyebut telah mencabut atau membatalkan sekitar 50 sertifikat tanah di area laut Tangerang turut Desa Kohod yang mencakup 38 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM).
Seperti diketahui, jumlah sertifikat tanah yang terbit di area pagar laut Tangerang itu sebanyak 280 sertifikat tanah yang mencakup 263 SHGB dan 17 SHM.
Kepemilikan sertifikat tanah itu terdiri dari 243 bidang dimiliki PT IAM, 20 bidang dimiliki PT CIS, dan 17 bidang dimiliki perorangan.

Kaitan persoalan itu, masyarakat Banten kini terus berjuang dan melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak atau oknum yang turut mendukung untuk mencaplok tanah mereka.
Dilansir dari Fusilatnews, daalam tulisannya disebutkan; Banten, wilayah yang sejak lama dikenal memiliki struktur sosial yang kuat dan nilai budaya yang masih berakar pada Kesultanan Banten, kini tengah menghadapi tantangan besar.
Dalam sejarahnya, masyarakat Banten terkenal sebagai komunitas yang solid, religius, dan memiliki ketaatan pada kepemimpinan lokal yang bersumber dari nilai-nilai kesultanan. Struktur sosial ini menjadikan mereka lebih mudah untuk bersatu dalam menghadapi ancaman terhadap tanah dan laut mereka.
Saat ini, mereka tengah berhadapan dengan ancaman serius dari kelompok oligarki, yang berupaya menguasai lahan dan wilayah pesisir mereka demi kepentingan bisnis.
Di antara para oligarki yang menjadi momok bagi rakyat Banten, nama Agung Sedayu Group (Aguan) mencuat sebagai salah satu pihak yang dituduh melakukan ekspansi besar-besaran terhadap tanah dan laut di daerah tersebut. Modus operandinya tidak asing lagi: penguasaan tanah dengan berbagai cara, mulai dari pembelian secara paksa, manipulasi hukum, hingga intimidasi terhadap masyarakat adat dan nelayan. Kejahatan agraria semacam ini bukanlah hal baru di Indonesia, tetapi resistensi yang ditunjukkan rakyat Banten menjadi sesuatu yang unik dan patut dicermati.
Soliditas masyarakat Banten tidak muncul begitu saja. Akar budaya kesultanan yang masih mengakar kuat memberikan mereka landasan moral dan ideologis dalam menghadapi upaya perampasan tanah dan laut. Kesultanan Banten dalam sejarahnya bukan hanya institusi politik, tetapi juga simbol perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dan kekuatan asing yang berusaha mengeksploitasi sumber daya mereka. Kini, semangat yang sama muncul kembali dalam perjuangan rakyat Banten melawan oligarki yang ingin mencaplok wilayah mereka.
Konsolidasi yang sedang berlangsung di berbagai daerah Banten menunjukkan bahwa rakyat tidak tinggal diam. Mereka memahami bahwa ancaman ini bukan hanya sekadar kehilangan lahan, tetapi juga ancaman terhadap keberlangsungan hidup generasi mendatang. Para nelayan yang selama ini menggantungkan hidup pada laut harus menghadapi reklamasi yang merusak ekosistem dan memutus akses mereka terhadap sumber daya alam. Para petani harus berhadapan dengan ancaman penggusuran demi kepentingan real estate dan industri properti.
Dalam perjuangan ini, masyarakat Banten tidak hanya mengandalkan aksi protes di lapangan, tetapi juga mulai membangun jaringan perlawanan melalui jalur hukum dan advokasi. Mereka menggandeng berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta tokoh adat dan agama untuk memperkuat posisi mereka dalam menghadapi serangan oligarki. Kesadaran politik rakyat Banten semakin meningkat, dan mereka memahami bahwa kekuatan hukum serta solidaritas yang kokoh adalah kunci dalam memenangkan pertarungan ini.
Namun, perjuangan rakyat Banten bukan tanpa tantangan. Tekanan politik, kriminalisasi aktivis, serta upaya kooptasi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap proyek penguasaan lahan menjadi ancaman nyata yang mereka hadapi. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Banten bukanlah masyarakat yang mudah tunduk. Dari era kolonial hingga Orde Baru, mereka selalu menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap ketidakadilan.
Hari ini, perlawanan rakyat Banten melawan oligarki tanah dan laut menjadi cermin bagi daerah lain di Indonesia yang menghadapi permasalahan serupa. Mereka bukan sekadar mempertahankan tanah dan laut, tetapi juga mempertahankan hak mereka sebagai warga negara untuk hidup dengan layak di tanah leluhur mereka. Dengan semangat kesultanan yang masih hidup dalam jiwa mereka, rakyat Banten kini kembali menunjukkan bahwa mereka bukan masyarakat yang mudah dikendalikan oleh kepentingan segelintir elite.
Perjuangan ini belum berakhir, dan rakyat Banten masih harus menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Namun, satu hal yang pasti: selama solidaritas tetap terjaga dan semangat kesultanan tetap menjadi pilar perjuangan, mereka tidak akan mudah dikalahkan. Rakyat Banten telah membuktikan bahwa mereka bukan sekadar warisan sejarah, tetapi juga kekuatan nyata dalam menghadapi ketidakadilan di zaman modern. *(Ads/Sumber: Fusilatnews/by Ali Syarief)