BIPOL.CO, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan Presiden Prabowo Subianto, menuai persoalan. Kasuss kaitan MBG ini kerap muncul, seperti penolakan pihak sekolah di sejumlah daerah, protes pihak rekanan pengelola MBG karena anggarannya yang belum dibayar, hingga kasus keracunan massal usai menyantap menu MBG di beberapa sekolah.
Sebelumnya ribuan pelajar di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, menggelar aksi demonstrasi menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Senin, 17 Februari 2025. Demonstrasi ini diikuti oleh pelajar SMP, SMA, dan mahasiswa.
Diperkirakan jumlah pelajar yang terlibat dalam demo itu berkisar 3.500 pelajar. Menurut keterangan pihak kepolisian, mereka berasal dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, serta Kabupaten Yahukimo.
Mereka menyampaikan penolakan terhadap program makan bergizi gratis yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Alasannya, mereka lebih membutuhkan pendidikan gratis.
Sementara Mitra dapur di Kalibata, Jakarta Selatan, mengaku belum dibayar hampir Rp 1 miliar oleh yayasan program makan bergizi gratis (MBG) berinisial MBN. Mereka justru ditagih oleh Yayasan MBN senilai Rp 400 juta.
Penolakan Pihak Sekolah di Yogyakarta
Kini penolakan MBG juga muncul dari pihak sekolah di Yogyakarta. Pihak SMKN 4 Yogyakarta mengusulkan agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan mulai tahun ajaran baru mendatang.
Alasannya, program Makan Bergizi Gratis tersebut dinilai menambah beban kerja bagi karyawan sekolah serta memengaruhi aktivitas pembelajaran dan operasional lainnya.
Dikutip dari Kompas.com, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMKN 4 Yogyakarta Widiatmoko Herbimo menjelaskan bahwa pihaknya telah menyampaikan permintaan kepada penyelenggara program MBG agar program tersebut tidak lagi dilanjutkan di sekolah mereka.
“Karyawan yang harus kerja nunggu MBG. Harusnya buat laporan keuangan, laporan keuangan baru bisa dilakukan sore. Iya mengganggu kegiatan,” ujarnya saat dihubungi, Senin (5/5/2025).
Menurut Widiatmoko, setiap kali makanan MBG datang, karyawan sekolah harus mengatur koordinasi dengan siswa.
Setelah selesai makan, mereka juga bertugas mengumpulkan kembali wadah makanan.
Tugas-tugas tambahan ini mengalihkan waktu dan tenaga yang semestinya digunakan untuk pekerjaan utama karyawan.
Lebih Bermanfaat untuk Sarana Prasarana
Selain itu, pihaknya menyampaikan bahwa sejak SMKN 4 Yogyakarta berstatus sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), beberapa pihak merasa omzet usaha kantin sekolah ikut menurun.
“Kedua kami juga sudah BLUD, ya banyak yang ngeluh omzet turun,” katanya.
Ia juga menyarankan agar program MBG dialihkan ke sekolah-sekolah yang memiliki jurusan teknik, bukan ke sekolah yang fokus pada tata boga seperti SMKN 4.
“Kalau bisa ke sekolah-sekolah teknik, bukan kayak kami di boga karena kami targetnya makanan. Kalau teknik kan beda,” lanjutnya.
Menurutnya, dana program MBG akan lebih bermanfaat bila dialokasikan untuk peningkatan sarana dan prasarana di sekolah. Dengan jumlah murid yang mencapai ribuan, SMKN 4 Yogyakarta membutuhkan ruang kelas berukuran besar yang lebih nyaman untuk belajar.
“Kalau pakai kipas angin kan gerah jam 12, jam 1. Mohon maaf, kalau uang sehari Rp 12 juta satu kali makan, kalau dibelikan AC kan kita lebih nyaman belajarnya,” tutur Widiatmoko.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Suhirman, menyatakan bahwa hingga kini pihaknya belum menerima laporan resmi dari SMKN 4 Yogyakarta mengenai permintaan tersebut.
Namun, ia menegaskan bahwa keputusan penghentian program MBG tidak berada di tangan Disdikpora.
“Tergantung dari SPPG, apakah pengganti lebih dari 3 km atau tidak. Kalau kurang dari 3 km kan memungkinkan. Tapi kita akan koordinasikan dulu,” ucapnya.(*Berbagi sumber)