BIPOL.CO – DALAM dunia perfilman Indonesia, nama Hadrah Daeng Ratu kian bersinar sebagai sutradara perempuan yang menggabungkan kekuatan emosi dan kepekaan artistik dalam setiap karyanya.
Dalam sebuah wawancara eksklusif, Hadrah membuka kisah hidup dan perjalanannya sebagai kreator visual yang tidak hanya menciptakan film, tetapi juga menanamkan kehidupan di dalamnya.
“Aku ngerasa terlahir untuk menjadi sutradara,” ungkapnya penuh keyakinan.
Bakat bercerita Hadrah sudah terlihat sejak usia sembilan tahun. Ia gemar bermain boneka kertas—yang kala itu disebutnya sebagai “orang-orangan”—dan menciptakan berbagai karakter lengkap dengan cerita dan konfliknya sendiri.
Aktivitas imajinatif itu berjam-jam dilakukannya dengan penuh semangat, bahkan hingga membangun rumah untuk para tokoh ciptaannya.
Ia juga sering menggambar bersama sang ayah yang seorang pelukis, meskipun bukan sebagai profesi utama. “Ayah adalah inspirasiku, karena ia memandang hidup seperti sebuah seni,” katanya. Dari kedua orang tuanya—ayah yang artistik dan ibu yang pekerja keras—Hadrah mewarisi kombinasi kreativitas dan ketangguhan.
Sebagai sutradara, Hadrah dikenal memiliki gaya yang emosional dan kuat. Ia tak pernah mengambil proyek jika cerita yang ditawarkan tidak menyentuh hatinya. “Aku percaya dengan energi yang bisa berpindah,” jelasnya.
Ia selalu mencurahkan seluruh energi dan emosinya ke dalam proses pembuatan film, hingga tak jarang menangis hebat sebelum memulai syuting adegan tertentu. Baginya, semua karya adalah cermin dirinya, dan proses kreatif itu adalah bagian dari pertumbuhan personal.
Ia menambahkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapinya di awal karier bukan datang dari luar, tetapi dari rasa tidak percaya diri dan ketakutan akan mengecewakan orang lain. “Dari sana aku belajar untuk terus bertumbuh dan belajar.”
Salah satu karya yang sangat personal baginya adalah adaptasi novel Dikta dan Hukum, yang menggambarkan perjuangan di tengah sakit dan keterbatasan.
Hadrah mengaku sangat terhubung dengan cerita itu karena pernah mengalami kondisi kesehatan yang cukup serius.
Ia juga dikenal lewat film Pantaskah Aku Berhijab, sebuah drama romansa yang mengangkat tema pencarian jati diri dan spiritualitas.
“Hijab itu bukan kungkungan, tapi rasa bahagia karena kita sudah menerima diri kita dan yakin bahwa Tuhan selalu kasih yang terbaik,” jelasnya tentang pesan film tersebut.
Sebagai perempuan di industri yang masih didominasi laki-laki, Hadrah merasa bangga dengan semakin banyaknya sutradara perempuan di Indonesia.
Ia berharap ke depan perempuan bisa lebih banyak bersuara dan menyalurkan kegelisahannya melalui karya. Untuk menjaga relevansi di industri yang terus berkembang, Hadrah terus memperbarui diri dengan teknologi terbaru, mengikuti tren media sosial, membaca buku kehidupan, serta memperhatikan dinamika sosial dan politik.
“Aku harus hidup dalam kehidupanku supaya bisa menghidupkan karyaku,” ucapnya penuh makna.
Ke depan, Hadrah berencana menjelajahi genre baru yang belum banyak digarap, termasuk film bertema kepahlawanan perempuan.
Saat ini, ia sedang mengerjakan film horor berjudul Alas Roban, yang mengangkat sejarah dan mitos menyeramkan dari hutan legendaris di Jawa Tengah.
Tak hanya itu, dua film garapannya lainnya—Kitab Sijjin dan Illiyin serta Assalamualaikum Baitullah—dijadwalkan rilis pada Juli mendatang.
Dengan semangat, ketulusan, dan keberanian untuk terus berekspresi, Hadrah Daeng Ratu membuktikan bahwa karya yang lahir dari hati akan selalu menemukan tempatnya di hati penonton. (*)