JAKARTA.bipol.co – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tajam di perdagangan pasar spot hari ini. Sepertinya tidak ada happy weekend buat rupiah. Pada Jumat (8/3/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.300. Rupiah melemah 1,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi dan menyentuh posisi terlemah sejak 3 Januari.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,42%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam dan menembus level 1%. Derita rupiah tidak selesai di pelemahan terdalam sejak 3 Januari. Di Asia, rupiah juga menjadi mata uang paling lemah. Bahkan selisih depresiasi dengan peso Filipina di atasnya sangat lebar.
Apa yang membuat rupiah melemah begitu dalam? Sepertinya rupiah agak jetlag karena kemarin tidak diperdagangkan. Akibatnya, rupiah baru menyerap perkembangan yang terjadi kemarin plus merespons sentimen yang beredar hari ini. Sungguh beban yang berat.
Sementara mata uang Asia sudah melemah pada perdagangan kemarin. Sehingga hari ini investor masih berkenan mengoleksi mata uang Benua Kuning karena sudah murah. Rupiah juga tertekan oleh aksi jual di pasar keuangan domestik. Pada penutupan perdagangan Sesi I, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,79%. Investor asing membukukan jual bersih Rp 312,58 miliar.
Sementara di pasar obligasi, aksi jual juga tampak di imbal hasil (yield) yang cenderung naik. Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun. Apa yang membuat pasar keuangan Indonesia ditinggalkan investor? Sepertinya pelaku pasar merespons perkembangan di Eropa dan China.
Bank Sentral Uni Eropa (ECB) baru saja menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro dari 1,7% menjadi 1,1% pada 2019. Untuk 2020, perkiraan pertumbuhan ekonomi juga diturunkan dari 1,7% menjadi 1,6%. Derita rupiah bertambah setelah rilis data perdagangan internasional China. Pada Februari 2019, ekspor China mengalami kontraksi atau minus 20,7% year-on-year (YoY). Jauh memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang masih mampu tumbuh 9,1% YoY.
Sementara impor juga turun, yaitu minus 5,2% YoY. Ini membuat neraca perdagangan Negeri Tirai Bambu masih surplus US$ 4,12 miliar, tetapi jauh mengerut dibandingkan Januari 2019 yang membukukan surplus US$ 39,16 miliar. Data ini membuat investor makin yakin bahwa perlambatan ekonomi global semakin nyata. Akibatnya, investor punya alasan untuk melepas aset-aset berbasis rupiah yang sudah menguat tajam sejak awal tahun. (ncbc)