JAKARTA, bipol.co – Guru Besar Universitas Padjajaran, Bagir Manan, mengajak semua pihak untuk melaksanakan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, yakni mengatur demokrasi ekonomi, secara benar dan tepat sesuai dengan prinsip-prinsip pasal itu.
“Sudah waktunya kita menguji kalau memang Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 itu masih relevan. Mari kita memikirkan bagaimana agar kembali pada pelaksanaannya yang benar dan tepat sesuai dengan prinsip-prinsip Pasal 33 itu,” kata Prof. Dr. Bagir Manan dalam Seminar Nasional dengan tema “Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945” di Gedung Nusantara IV, kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Minggu.
Seminar bersamaan dengan peringatan Hari Konstitusi ini juga menghadirkan pembicara Guru Besar Universitas Indonesia Prof Dr Maria Farida Indrati.
Membawakan makalah dengan judul “Demokrasi Ekonomi dalam UUD NRI Tahun 1945”, Bagir Manan menyebutkan tiga prinsip dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Pertama, prinsip sistem ekonomi atas dasar kekeluargaan; kedua, prinsip demokrasi ekonomi; ketiga, prinsip bahwa cabang-cabang ekonomi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak dikuasai negara. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Ini adalah esensi dari Pasal 33,” ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA
Sarana untuk menyelenggarakan Pasal 33 itu, lanjut Bagir Manan, adalah koperasi.
Meskipun sekarang sudah ada Kementerian Koperasi dan UKM serta banyak berdiri koperasi, Bagir Manan melihat hal itu tidak sesuai dengan yang diamanatkan para pembuat UUD.
Para pembuat UUD menginginkan koperasi sebagai sebuah gerakan ekonomi rakyat.
Ia menegaskan bahwa koperasi adalah sebuah gerakan, bukan sekadar bentuk badan hukum, atau badan usaha yang tidak berbeda dengan perusahaan.
“Tidak sekadar gerakan ekonomi rakyat, koperasi dimaksudkan agar rakyat mempunyai kemandirian dan kemampuan sendiri sehingga membangun harga diri. Rakyat mempunyai harga diri,” jelas mantan Ketua Dewan Pers itu.
Bagir Manan menyebut ada beberapa sebab Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 itu tidak dijalankan.
Menurut dia, ada yang berpendapat pasal ini adalah pasal yang sudah ketinggalan zaman. Ada tantangan baru yang membuat Pasal 33 sudah tidak relevan lagi, atau para penyelenggara negara atau pemerintah memang mempunyai konsep lain.
“Tujuannya sama, yaitu kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat tetapi tidak dengan Pasal 33, melainkan dengan yang lain, atau memang mereka tidak memahami strategi Pasal 33 itu,” ujarnya.
Bagir Manan menilai pasal demokrasi ekonomi atau Pasal 33 UUD adalah pasal yang belum dilaksanakan sepenuhnya.
“Jangan kita mengatakan melaksanakan Pasal 33 tetapi mekanismenya kita pakai dengan sistem yang lain. Itu akan menyulitkan kita sendiri.” imbuhnya.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Dr. Maria Farida menyoroti beberapa pasal UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan kedaulatan rakyat dan MPR dalam makalahnya yang berjudul “Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945”.
Misalnya, soal MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Padahal, kalau dikaitkan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
“Jadi, tidak terlihat bahwa MPR adalah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat karena dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak merumuskan siapa yang harus melaksanakan kedaulatan tersebut,” katanya.
Maria juga mempertanyakan siapa yang menetapkan presiden dan/wakil presiden apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)?
Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 3 Ayat (2) menyatakan bahwa Majelis Permusyaratan Rakyat melantik presiden dan atau wakil presiden.
“Lalu, siapa yang menetapkan presiden dan/atau wakil presiden?” tanya mantan Hakim Konstitusi ini.
Menurut Maria, KPU tidak berwenang menentapkan presiden dan wakil presiden sebab KPU hanya penyelenggara pemilu.
KPU hanya menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Selanjutnya, nama pasangan itu diajukan oleh KPU ke MPR untuk ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden dalam suatu Ketetapan MPR tentang Penetapan Presiden dan Wakil Presiden (beschikking), barulah kemudian MPR melakukan pelantikan.
“Selama ini presiden dan wakil presiden tidak memiliki surat ketetapan. Kita berharap pada pelantikan Oktober nanti, MPR mengeluarkan ketetapan MPR untuk penetapan presiden dan wakil presiden,” ujarnya. (ant)