“Kalau anak muda gajinya Rp10 juta atau Rp20 juta berani belanja Rp30 juta karena punya future income. Bukannya mengajari mereka konsumtif, tapi mereka konsumtif dan produktif juga,” katanya saat ditemui di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Destry menuturkan hal tersebut berbeda dengan Eropa dan Jepang yang mayoritas terdiri dari penduduk berusia tua sehingga terkadang membawa masalah tersendiri bagi ekonomi mereka.
“Bahkan mereka berani lebih besar pasak daripada tiang karena menganggap karir masih panjang,” ujarnya.
Hal tersebut didukung oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus yang menyatakan bahwa sebenarnya kondisi ekonomi Indonesia masih diuntungkan dengan adanya dominasi dari sisi faktor domestik yaitu konsumsi rumah tangga yang mencapai sekitar 80 persen, sedangkan faktor internal seperti ekspor, impor, dan investasi hanya berkontribusi sebanyak 20 persen.
“Ekonomi kita tumbuh itu paling besar dikarenakan ekonomi domestiknya masih kuat seperti konsumsi rumah tangga yang menjadi andalan utama bagi pertumbuhan ekonomi kita,” katanya.
Lebih lanjut, Destry menjelaskan dalam hal ini Bank Indonesia berusaha untuk mendorong produktivitas para milenial yaitu dengan lebih aktif di sektor digital seperti berupaya agar terdapat interlink antar bank konvensional dan digital agar peran Bank Sentral tetap terjaga.
Ia pun mengimbau agar adanya era teknologi bisa dimanfaatkan secara maksimal agar pikiran selalu terbuka terhadap pengetahuan baru sehingga akan menghadirkan beragam inovasi yang semakin meningkatkan perekonomian negara.
“Era digital enggak bisa dihindari jadi kita enggak boleh against digital economy. Jangan anggap sebagai disruption,” ujarnya. (ant)