Peneliti CIPS Pingkan Audrine melalui aplikasi pesan singkat di Jakarta, Minggu (20/10/2019), mengatakan rencana Presiden Jokowi untuk memangkas jumlah eselon di kementerian juga perlu dijelaskan lebih rinci.
“Saya rasa perlu diperhatikan juga tupoksi yang dimiliki dari eselon-eselon yang nantinya dihilangkan. Apakah tupoksinya akan dipadatkan, berubah atau bagaimana? Karena tadi Pak Presiden pun juga menyampaikan akan membuka pos-pos jabatan fungsional menggantikan eselon yang dipangkas,” katanya.
Pasalnya, daftar kementerian dan menteri yang akan mengisi kabinet di periode kedua baru akan diumumkan hari ini Senin (21/10).
Lebih lanjut, Pingkan mengatakan penyederhanaan birokrasi untuk mendorong investasi memang diperlukan. Indonesia pun saat ini sudah memiliki sistem National Single Window dan Online Single Submission (OSS) yang membantu proses penyederhanaan birokrasi serta mengintegrasikan pelayanan yang diberikan dari kementerian kementerian/lembaga terkait.
“Kemudahan dalam hal birokrasi di lapangan seperti ini yang saya rasa perlu jadi fokus pemerintah. Kita sudah ada modal dengan memiliki sistem digitalisasi seperti OSS dan National Single Window yang juga terintegrasi dengan ASEAN Single Window, namun masih belum optimal pelaksanaannya di lapangan dan di daerah,” katanya.
Pemerintah, lanjut Pingkan, juga perlu memperhatikan administrasi perbatasan yang sangat berkait erat dengan birokrasi yang berbelit sehingga cukup menghambat investasi.
Administrasi perbatasan yang dimaksud, misalnya, yakni terkait pengurusan izin masuk barang perdagangan di pelabuhan di Indonesia yang masih memakan waktu hingga 80 jam.
Berdasarkan Indeks Global Keterbukaan Ekonomi yang baru dilansir The Legatum Institute, Indonesia menduduki peringkat 87 dari 157 negara untuk urusan administrasi perbatasan.
“Angka ini jauh di bawah Thailand, Singapura dan Malaysia yang masing-masing hanya membutuhkan waktu 29 jam, 12 jam dan 33,5 jam seperti data yang dilansir dari laporan World Bank Doing Business tahun ini,” jelasnya. (ant)