“Ini buku tentang ayah saya. Kita semua anak-anaknya mau mengangkat peran ayah di Kantor Berita ANTARA. Ada kebanggaan dari anak-anaknya lah,” katanya, saat diskusi dan peluncuran buku tersebut, di Jakarta, Selasa.
Chappy mengakui keteladanan yang ditunjukkan oleh sang ayah, baik sebagai orang tua, sebagai pejuang, maupun sebagai wartawan.
“Abdul Hakim memberikan contoh bagaimana berbeda ideologi, aliran, visi, tetapi namanya persahabatan tetap persahabatan,” katanya.
Dalam buku itu juga ditulis bagaimana Abdul Hakim “dipensiun paksa” sebagai salah satu pimpinan Kantor Berita ANTARA, dan digantikan oleh pejabat-pejabat baru berhaluan komunis kala itu.
Kemudian, diceritakan pula bagaimana hubungannya dengan orang-orang yang selama ini berseberangan dan menjadi musuh politiknya tetaplah baik.
“Beliau dikeluarin (dari ANTARA), dipensiun paksa oleh orang-orang yang berafiliasi dengan komunis, PKI. Setelah perjalanan panjang, dia ketemu dengan temen-temen yang dulu memusuhinya, tetapi dia tetap menganggap sebagai teman. Ini luar biasa,” katanya.
Berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat sekarang ini, kata dia, orang bisa bermusuhan hanya karena berbeda pendapat, agama, suku, dan sebagainya.
“Sementara, ayah saya jelas-jelas dimusuhi, disingkirkan. Tetapi, dia tetap berteman dengan ‘musuh-musuhnya’. Dia bisa membedakan bagaimana pertemanan, persaudaraan, dan pemikiran,” katanya.
Sementara itu, mantan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi ANTARA juga menyebut Abdul Hakim tetap berhubungan baik dengan orang-orang yang memusuhinya.
“Dia dengan orang-orang yang memusuhinya karena dianggap sikap politiknya nonkomunis, tetep baikan. Itu penting,” kata mantan Dirut LPP RRI itu.
Selain itu, Parni juga menyebutkan Abdul Hakim sebagai sosok pejuang yang konsisten dengan sikapnya. (ant)