“Saya tidak berpikir saya kembali juga pak, terus terang. Demi Allah, berat pak!” kata Helmy saat memberi klarifikasi terkait pemecatannya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Selasa (28/1).
Ia mengatakan kalau ada yang mau menunjuknya lagi menjadi Dirut TVRI, ia mau agar TVRI berganti dulu tata kelolanya.
“Kakak saya, Tantowi Yahya yang pernah juga menjadi salah satu pimpinan Komisi I dan dia terus terang melarang saya, ‘ngapain kamu urusin TVRI? Berat, sulit sekali’,” ujar Helmy meniru ucapan Tantowi.
Namun, berkat bujukan dari seseorang serta diskusi dengan istrinya, Helmy pun berani melawan larangan abangnya dan meneruskan rencana untuk mengikuti seleksi.
“Alhamdulillah saya terpilih pada 29 November 2017 luar biasa kondisinya, betul kakak saya. Tiap hari diawasi, dikirimi surat. Istri saya saja sudah lima tahun tidak mengirim surat,” ungkap Helmy.
Sontak hal itu membuat riuh tawa di ruang sidang.
“Hampir dua hari sekali, Dewan Pengawas itu mengirimi saya surat ‘cinta’,” ungkap Helmy.
Tak hanya itu, Dewan Pengawas juga pernah setiap minggu mengajak Direksi untuk rapat. Ia bahkan mengklaim jajaran Direksi berani bersaksi atas keterangan tersebut.
“Itu Direksi saya ada di atas (balkon). Hampir separuh waktu kami habis untuk melayani Dewan Pengawas yang sayang sekali dengan TVRI,” tutur Helmy.
Helmy juga mengatakan Dewan Pengawas TVRI selalu mengecek setiap kali produksi program TVRI. “Tiap kali produksi dicek pak, ngapain?” kata Helmy.
Bahkan untuk keluar kota, Direksi harus meminta izin kepada Dewan Pengawas TVRI secara tertulis.
“Saya ke Bandung harus izin, tertulis. Untung rumah saya di Kebayoran Baru, kalau di Bekasi mungkin saya pulang-balik harus meminta izin,” imbuh Helmy.
Menurut Helmy, jajaran Dewas TVRI telah masuk dalam kewenangan Direksional dimana Dewas membuat kontrak manajemen.
Ia bercerita juga pengalamannya selama menangani TVRI, ternyata sangat mudah sekali jajaran Direksi diberhentikan oleh Dewan Pengawas jika mencermati Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005.
“Kalau kita mencermati PP 13/2005, apa langkah gampangnya yang saya alami sendiri? Cukup Direksi itu, siapa pun dia, dikasih Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP),” ujar Helmy.
Kesalahan Direksi yang ingin diberhentikan tersebut bisa ditaruh apa saja yang dirasa salah oleh Dewan Pengawas dengan komitmen boleh mengajukan pembelaan diri dalam waktu sebulan.
“Dalam kasus saya, pembelaan diri saya, 27 halaman dan lampirannya 1.200 halaman, pak. Enggak main-main, karena saya dibantu kantor pengacara Assegaf Hamzah and Partners (AHP). Saya enggak main-main karena itu menyangkut harga diri saya,” ucap Helmy menegaskan.
Ia mengatakan Dewan Pengawas sebenarnya punya waktu dua bulan terhitung dari tanggal 17 Desember 2019 dari pertama kali ia mengajukan pembelaan diri.
“Sebenarnya mereka punya waktu dua bulan untuk menolak, menerima, atau membiarkan. Tapi enggak sampai sebulan tuh, saya dipanggil. Saya tidak tahu apakah pembelaan saya dibaca atau tidak,” kata Helmy.
Ia hanya tahu bahwa pembelaannya ditolak tanpa tedeng aling-aling, maka selesai lah saat itu juga karir Helmy sebagai Direktur Utama TVRI.
“Tidak ada dengar pendapat (hearing), tidak ada permintaan klarifikasi,” ungkap Helmy.
Bahkan Helmy mengaku, Dewan Pengawas juga melakukan blokir nomor Whatsapp-nya supaya Helmy tidak bisa menghubunginya.
“Saya tidak ingin ini terjadi lagi. Gampang sekali seorang Direksi TVRI dengan PP 13/2005 itu diberhentikan (oleh Dewan Pengawas TVRI),” ujar Helmy.
Helmy menambahkan, TVRI saat ini sedang diaudit kinerja oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terutama juga Dewan Pengawas TVRI.
“BPK bersedia datang kalau diperlukan. Pak Ahsanul Kosasih (anggota BPK) itu bersedia hadir,” kata Helmy. (net)