Sri Mulyani menuturkan belanja negara tersebut hanya tumbuh 0,1 persen dibandingkan periode sama pada 2019 yaitu Rp452,1 triliun yang tumbuh 7,7 persen dari realisasi Maret 2018 dan 18,4 persen dari pagu APBN.
“Kalau kita lihat posisi sampai 31 Maret dari sisi belanja negara terlihat hanya tumbuh 0,1 persen karena beberapa hal,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Jumat (17/4).
Realisasi belanja negara tersebut terdiri dari realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp277,9 triliun atau tumbuh 6,6 persen dari periode sama 2019 yakni Rp260,7 triliun, dan 16,5 persen dari target APBN Rp1.683,5 triliun.
Belanja pemerintah pusat sendiri ditunjang oleh belanja kementerian dan lembaga (K/L) Rp143 triliun atau tumbuh 11 persen dibanding Maret 2019 yang secara rinci terdiri dari belanja pegawai Rp48,6 triliun, belanja barang Rp35,2 triliun, belanja modal Rp12 triliun, dan bantuan sosial Rp47,2 triliun.
Sri Mulyani menyatakan meski realisasi belanja modal Rp12 triliun naik 32,1 persen dari Maret 2019, namun ke depannya diperkirakan akan mengalami perlambatan karena ada wabah COVID-19.
“Belanja modal tahun ini ini memang direncanakan lebih tinggi dari tahun sebelumnya, namun karena COVID-19 maka prioritas ditujukan kepada kesehatan, bansos, serta pemulihan ekonomi,” katanya.
Belanja bansos Rp47,2 meningkat 27,6 persen karena adanya bantuan iuran PBI JKN oleh Kemenkes yakni kenaikan tarif 2020 dan penarikan iuran PBI hingga Mei serta bantuan pangan melalui Kartu Sembako oleh Kemensos yaitu kenaikan indeks bantuan pangan dari Rp110 ribu per KPM/bulan menjadi Rp200 ribu per KPM/bulan.
Lebih lanjut, belanja pemerintah pusat juga ditunjang oleh belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) mencapai Rp134,9 triliun atau tumbuh 2,2 persen dari periode sama tahun lalu yang terdiri dari pembayaran bunga piutang Rp73,8 triliun, subsidi Rp18,7 triliun.