“Iuran Tapera sangat berat untuk buruh. Jika ditotal dengan iuran-iuran lainnya bisa mencapai delapan persen lebih dari gaji yang harus dikeluarkan tiap bulannya,” kata Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (13/6).
Potongan untuk iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan jaminan hari tua atau dana pensiun mencapai empat persen dari upah.
Sementara iuran Tapera berada di angka 3,5 persen, dengan rincian 2,5 persen wajib dibayar pekerja dan satu persen oleh pemberi kerja. “Kalau ada potongan lagi akan menambah beban buruh,” tegasnya.
Dia menilai, iuran Tapera seharusnya bersifat sukarela dan sasarannya buruh yang memang kesulitan memiliki rumah. Sementara, bagi yang sudah memiliki rumah tidak perlu lagi ikut.
“Tapera harusnya jadi opsional. Tidak dipaksakan seperti saat ini,” ujarnya.
Iuran Tapera memang menimbulkan polemik baru. Pemerintah beralasan iuran tersebut untuk memenuhi hak atas tempat tinggal terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun di sisi lain, pengambilan iuran dari penghasilan tersebut menimbulkan beban karena buruh sudah mengalami banyak potongan.
Tahap pertama penerapan kebijakan ini pada 2021 diperuntukkan kepada aparatur sipil negara, dan anggota TNI/Polri.
Selanjutnya, diikuti oleh pegawai badan usaha milik negara (BUMN) dan sektor swasta. Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) menargetkan 13 juta peserta iuran pada tahun kelima pelaksanaannya.
Pemerintah menambahkan beban iuran yang harus dibayarkan buruh setiap bulan dalam bentuk Tapera. Tak tanggung-tanggung, semua yang bekerja dan mendapat upah dituntut untuk ikut urun sekalipun mereka punya rumah baik sudah lunas atau belum.
Peraturan ini ditetapkan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Peraturan ini berlaku baik untuk pekerja di sektor swasta atau pemerintahan. (net)