JAKARTA.bipol.co- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 belum memuat sanksi tegas bagi pasangan calon (paslon) yang melanggar protokol COVID-19. Selain itu, PKPU tentang pelaksanaan pilkada dalam pandemi dinilai belum memuat inovasi dalam pemungutan suara.
“Salah satu problem awal pilkada yang diputuskan 9 Desember, yang meskipun sudah mengalami penundaan dari seharusnya September, adalah instrumen hukum yang kuat,” kata Titi dalam diskusi virtual Populi Center dan Smart FM Network yang bertajuk ‘Tiga Kandidat Wafat, Pilkada Jalan Terus?’ pada Sabtu (3/10/2020).
“Kalau kita merujuk praktik global, salah satu yang paling direkomendasikan oleh para praktisi pemilu global ketika kita ingin melanjutkan pemilu di masa pandemi adalah dasar hukum yang kuat itu. Dasar hukum yang kuat itu yang saat ini belum sepenuhnya tersedia,” sambung Titi.
Titi mengatakan sanksi pada PKPU Nomor 13 Tahun 2020 tidak bisa hanya melibatkan pihak Bawaslu. Perlu juga keterlibatan dari aparat penegak hukum, seperti pihak kepolisian.
“Saya setuju bahwa sanksi yang ada skemanya itu adalah teguran pembubaran atau larangan kampanye selama tiga hari itu. Kalau bisa kita lihat implementasinya, tidak bisa hanya mengandalkan Bawaslu karena misalnya soal pembubaran, dia perlu kolaborasi dengan Satpol PP dengan kepolisian,” ujar Titi.
Lebih lanjut Titi mengatakan aturan perundang-undangan soal pilkada masih belum mengatur sanksi pidana terhadap paslon yang melanggar protokol kesehatan COVID-19. Oleh sebab itu, menurut catatannya, polisi kerap menganggap penegakan hukum saat pilkada merupakan ranah Bawaslu.
“Sementara itu, di beberapa temuan kami, ada pihak kepolisian yang menganggap bahwa menegakkan hukum itu ranahnya kalau pilkada hanya dilakukan oleh Bawaslu beserta jajaran. Undang-Undang Pilkada kita itu tidak mengatur instrumen pidana atau sanksi pidana untuk pelanggaran terhadap protokol kesehatan,” lanjutnya.
Hal lain yang belum dijangkau oleh PKPU adalah soal inovasi dalam melakukan pemungutan suara. Salah satunya terkait pengadaan perpanjangan waktu akibat penerapan protokol kesehatan saat pemungutan suara.
“Yang juga tidak bisa dijangkau oleh KPU aturan-aturan terkait dengan inovasi pemungutan penghitungan suara. Itu melampaui undang-undang. Contoh perpanjangan waktu pemungutan suara untuk memaksimalkan protokol kesehatan,” tutur Titi.
“Dalam banyak analisis pakar pemilu, ternyata waktu pemungutan suara kita nanti yang hanya diatur undang-undang itu jam 7, jam 1 siang itu tidak cukup,” sambungnya.
Selain itu, Titi pun menyoroti inovasi soal kotak suara keliling yang harusnya diperlukan untuk pemilih yang sakit ataupun sedang melakukan isolasi mandiri. Menurutnya, hal ini juga masih belum ada dalam undang-undang soal pilkada.
“Kedua adalah akses untuk mewadahi hak pilih mereka yang sakit yang sedang isolasi mandiri di rumah yang sedang dirawat di rumah sakit itu kan tidak boleh diabaikan hak pilihnya, tapi instrumen undang-undang itu tidak mengenal yang namanya kotak suara keliling. Padahal, untuk menjangkau mereka itu, perlu kotak suara keliling,” ucapnya.
Titi kemudian meminta pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait pelaksanaan pilkada saat pandemi. Hal ini dimaksudkan guna mengakomodasi penguatan sanksi dan pengaturan khusus pilkada di masa pandemi.
“Betul, yang paling mungkin perppu, dan mengatur dua hal tadi. Soal penguatan sanksi, dan kedua soal special voting arrangement atau pengaturan khusus untuk pemungutan penghitungan suara,” tuturnya.
Diketahui, pemerintah tetap akan melaksanakan pilkada di tengah wabah pandemi COVID-19. Pilkada serentak akan dilakukan oleh 273 daerah pada 9 Desember 2020.[Net]
Editor: Fajar Maritim