JAKARTA.bipol.co – Riset yang dilakukan oleh Indonesia Indicator (I2) menunjukan kinerja Pemerintahan Joko Widodo yang telah memasuki tahun pertama tak pernah lepas dari sorotan media massa, baik nasional, lokal maupun internasional.
Menurut Indonesia Indicator (I2), perusahaan Intelijen Media dengan menggunakan piranti lunak kecerdasan buatan (AI), rapor kinerja Jokowi di media massa pada tahun pertama periode II mencapai 76 dengan catatan.
“Dengan catatan, framing media pada pemberitaan Jokowi didominasi oleh sentimen netral yang lebih tinggi, yakni 40 persen, disusul tone positif 36 persen dan negatif sekitar 24 persen. Dalam konteks pandemi, media memberikan ruang untuk Jokowi dengan memberikan framing netral,” kata Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang saat memaparkan hasil riset Indonesia Indicator bertajuk “Presiden Jokowi dalam Potret Media; Setahun Pertama periode II dalam Pandemi” di Jakarta, Rabu.
Menurut Rustika, sepanjang 20 Oktober 2019 hingga 30 September 2020, Indonesia Indicator (I2) mencatat, kinerja Jokowi diliput 2.209 media online Indonesia, baik nasional maupun lokal dalam 690.317 berita.
Sebanyak 43 persen pemberitaan di media online diisi oleh masalah penanganan virus COVID-19 oleh Jokowi. Hal inilah yang salah sat
unya diberikan framing netral oleh media, dalam arti media “wait and see”, dalam menghadapi kondisi pandemic yang juga menjadi isu global saat ini. “Masalah ini adalah masalah yang sangat sensitif, hal-hal yang sifatnya saintifik, media akan memberikan informasi dengan sangat hati-hati karena dampaknya sangat luas,” kata Rustika.
Perhatian Jokowi pada isu-isu terkait perekonomian di tahun pertama periode II Jokowi juga menjadi atensi terbesar media massa. “Isu-isu ekonomi dibahas sebanyak 47 persen dari total pemberitaan tentang Jokowi,” ungkap Rustika dalam siaran persnya.
Hal itu, kata dia, tak terlepas dari pandemi COVID-19 yang menjadi persoalan nasional dan global, berakibat pada minusnya pertumbuhan ekonomi kuartal II dan III 2020. Selain itu, kata Rustika, pemberitaan media massa terkait Jokowi disusul oleh isu politik dan keamanan (Polkam) sebanyak 23 persen, isu sosial 22 persen, dan isu hukum 8 persen.
Isu terbanyak soal ekonomi adalah soal stimulus usaha mikro kecil menengah (UMKM), pertumbuhan ekonomi, masalah bantuan sosial (bansos)-bantuan langsung tunai (BLT), serta isu pariwisata.
Terkait kebijakan ekonomi Pemerintahan Jokowi, lanjut Rustika, media massa memberi catatan positif dan negatif. Program besar Jokowi dalam pembangunan infrastruktur, kata Rustika, mendapat apresiasi dalam ruang perbincangan media.
“Dalam isu infrastruktur ini, Presiden Jokowi dicitrakan tetap membangun komunikasi dengan pimpinan berbagai negara demi menjaring investasi, seperti dengan Pemerintahan Turki,” papar Rustika.
Perhatian khusus Jokowi terhadap sektor UMKM juga turut mendapat catatan positif media massa. Sebelum pandemi, menurut Rustika, terdapat kebijakan penurunan bunga kredit usaha rakyat (KUR) menjadi 6 persen, pembagian voucher gas untuk UMKM, dan juga digitalisasi UMKM. Setelah pandemi merebak, pemerintah melakukan kebijakan keringanan kredit, kredit modal kerja, serta BLT untuk para pelaku UMKM.
“Sentimen positif ini bisa jadi pintu masuk untuk menarasikan secara lebih baik UU Cipta Kerja,” tuturnya. Media juga memberi catatan positif terkait kebijakan stimulus ekonomi yang terus ditekankan Pemerintahan Jokowi guna memperbaiki kondisi perekonomian di masyarakat, terutama di tengah pandemi COVID-19 dan kemerosotan perekonomian masyarakat.
Termasuk di dalamnya upaya stimulus perekonomian yaitu kartu prakerja, program bantuan subsidi upah, penambahan nilai kartu sembako, keringanan pembayaran listrik dan juga lainnya. Terkait kebijakan di bidang ekonomi, media massa juga menyoroti dan mengkritisi sejumlah hal.
Menurut Rustika, pertumbuhan ekonomi terus melemah akibat pandemi COVID-19 pada tahun 2020 ini menjadi sorotan media. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi atau minus 5,32 persen, dan di kuartal III 2020 yang diproyeksikan akan kontraksi minus 1,7 persen hingga 0,6 persen.
Tak hanya itu, media massa juga menyoroti nilai tukar rupiah yang tertekan juga menjadi salah satu permasalahan ekonomi tahun ini. Rupiah terdampak kondisi pandemi COVID-19, yang juga diiringi dengan melemahnya IHSG. Isu ekonomi lainnya yang mendapat sorotan kritis dari media adalah gelombang PHK yang mulai terjadi pada April 2020, hingga perusahaan sebesar Gojek pun dikabarkan melakukan PHK sebanyak 9 persen dari total karyawan.
Menaker Ida Fauziyah mengungkapkan, semenjak pandemi Covid-19, jumlah pekerja yang terkena PHK berjumlah 3,5 juta orang. Jumlah ini menambah jumlah pengangguran di Indonesia hingga mencapai 10,3 juta orang.
“Utang negara masih menjadi isu yang masih sering disorot dan konsisten dibahas media mengenai Jokowi,” kata Rustika. Bahkan, Indonesia disebut sebagai negara dengan utang luar negeri terbesar ke-7 oleh World Bank. Presiden Jokowi juga dikritik sejumlah pengamat ekonomi, karena dalam masa pandemi pun pemerintah masih membuat utang baru di 2020. Utang negara tumbuh 5 persen dalam pemberitaan Agustus 2020.
Pada bidang sosial, sorotan media terbanyak adalah soal berbagai bantuan sosial, BPJS, Kartu Prakerja, Program Keluarga Harapan, yang meskipun kadang ada riak. Namun dampaknya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat yang paling bawah.
Isu bidang Kesehatan, menjadi atensi terbesar media melalui informasi terkait penanganan COVID-19, vaksin, penyelenggaraan tes dan lainnya. Pada bidang hukum, isu soal Papua, Omnibus Law (beririsan dengan politik), isu lama seperti Harun Masiku atau Novel Baswedan. Sementara, isu politik yang mengiringi Jokowi setahun terakhir adalah Pilkada Serentak 2020.
Menurut Rustika, terdapat dua isu besar yang muncul di media, yakni desakan pengunduran pelaksanaan Pilkada 2020 karena pandemi COVID-19, dan keikutsertaan anak dan menantu Jokowi yaitu Gibran Rakabuming dalam Pilkada Kota Solo, dan Bobby Nasution dalam Pilkada Kota Medan.
“Hal itu sempat menimbulkan narasi politik dinasti dan mendapatkan sentimen negatif dari publik. Sementara itu, Presiden Jokowi menepis anggapan bahwa dirinya tengah membangun dinasti politik. Menurutnya, Gibran maupun Bobby mengikuti sebuah kompetisi yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan semua keputusan ada di tangan rakyat dalam menggunakan suaranya,” tutur Rustika.
Catatan lain terhadap Jokowi adalah soal Omnibus Law, khususnya UU Ciptaker, yang juga masuk dalam 10 isu terbesar yang ditujukan pada Jokowi. Isu ini mendapat framing negative karena sempat menimbulkan gelombang demo dari kelompok buruh, mahasiswa, dan 212.
Hal tersebut cukup penting mengingat pesan yang ada di media (dan media sosial) tentang pemerintah dan Presiden Jokowi akan membangun persepsi yang pada gilirannya berperan sangat krusial. Dia menambahkan, publik tidak hanya mengidamkan kepuasan atas kinerja pemerintah dalam bentuk fisiknya tetapi juga membutuhkan bangunan citra pemimpin melalui media.
“Persepsi dapat membangun afeksi, dukungan emosional, atau sebaliknya dapat memunculkan penolakan, ketidakpuasan dan perlawanan. Oleh karena itu, ke depan penguatan strategi komunikasi pemerintah agar lebih baik perlu menjadi perhatian Jokowi di tengah perang wacana di era digital seperti saat ini,” kata Rustika. (net)
Editor Deden .GP