KAB BANDUNG, BIPOL.CO – Anggota DPRD Kabupaten Bandung, Elin Wati, mengaku merasa miris dengan masih tingginya kasus stunting dan pernikahan dini di Kabupaten Bandung.
Legislator Fraksi PAN ini mengatakan, masalah stunting dan pernikahan dini perlu terus disosialisasikan pihak terkait kepada masyarakat. Namun ia menilai Pemkab Bandung saat ini dengan serius terus melakukan upaya agar kedua kasus tersebut teratasi dan mengalami penurunan.
“Pemkab Bandung memang sedang menangani kasus stunting dengan betul-betul serius. Lebih dari 102 kasus dalam satu Kabupaten Bandung itu jumlah yang cukup besar, yang perlu terus didorong oleh semua pihak agar terjadi penurunan signifikan,” kata Ketua Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Bandung ini, di Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, tempo hari.
Elin mengaku salut ketika salah seorang warga yang masih muda belia dalam satu kesempatan kegiatan mempertanyakan kepadanya soal tingginya kasus stunting dan pernikahan dini di Kabupaten Bandung.
“Wanita muda itu mempertanyakan bagaimana upaya Pemkab Bandung terhadap dua kasus tersebut yang dinilai masih cukup tinggi,” kata Elin Wati.
Elin menilai, masih tingginya kedua kasus itu, salah satunya diakibatkan karena pengetahuan keluarga yang kurang, di sisi lain karena anak-anak yang menikah pasti belum siap menghadapi kehidupan berumahtangga.
“Stunting dan pernikahan dini bisa saling terkait, karena dengan nikah muda mereka belum begitu faham bagaimana merawat anak-anak atau karena pengetahuannya terbatas bagaiamana dalam merawat anak dan bagaimana pola hidup sehat. Sehingga kondisi itu rentan terjadinya kasus stunting pada anak-anak mereka,” ujarnya.
Selain itu, tuturnya, akibat pernikahan dini tidak menutup kemungkinan bisa berdampak terhadap tingginya angka perceraian di Kabupaten Bandung, khususnya bagi pasangan muda. “Tingginya kasus perceraian di Kabupaten Bandung, mungkin salah satunya akibat pernikahan dini,” kata anggota dewan yang sempat menjadi Ketua TP PKK Desa ini.
“Mereka dalam merawat anak harus dihadapkan dengan realita kehidupan, mereka kadang “terkurung” di kamar untuk merawat anak, sementara pengetahuannya terbatas dalam merawat anak yang sehat, ini seperti satu kendala yang betul-betul harus bisa terpecahkan dan dicari solusi yang lebih tepat untuk meminimalisir angka stunting di Kabupaten Bandung, meski pun kalau saya lihat ya upaya penangan dari Pemkab Bandung sudah bagus,” paparnya.
Apalagi, tambah Lina Wati, sudah ada anggaran dari APBD untuk penanganan kasus tersebut dan aturannya telah ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda).
“Artinya peran pemerintah terhadap kasus pernikahan dini ini aturan pemerintahan sudah jelas, untuk pernikahan itu kan harus di atas 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki, seperti itu. Tapi ketika melihat realita di masyarakat, kita tidak bisa berkata apa-apa lagi ketika anak-anak mereka lebih memilih menurut pada keluarganya itu sendiri,” ungkapnya.
“Dulu saya pernah ada di BKR (Bina Keluarga Remaja) dan BKL (Bina Keluarga Lansia) dan kasus seperti itu memang betul-betul ada. Kalau disebut berkurangnya sosialisasi memang benar, tapi kembali pada peran keluarga, dan kedua karena pergaulan makanya pada anak-anak harus bisa menjaga dalam pergaulan, apalagi di era digitalisasi sekarang ini. Jadi gimana ya, kondisi ini saya merasa miris, tapi ya apapun keadaannya kita harus bisa melewati apapun itu,” ucapnya.
Bedas Sapujagat
Sementara menurut catatan yang berhasil dihimpun, angka pernikahan dini di Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung, sampai akhir tahun 2021 mencapai 46, 44 persen.
Tingginya angka pernikahan dini menjadi perhatian Pemkab Bandung.
Dengan hadirnya program berencana dewasakan anak agar sejahtera, sinergitas akselerasi pendewasaan usia kawin terjaga, keluarga sehat (Bedas Sapujagat) dapat menekan angka pernikahan pada anak di bawah usia 19 tahun.
Tercatat, hingga Juli 2021 jumlah perkawinan usia anak, laki laki mencapai 112 kasus, sedangkan anak perempuan ada 567 kasus.
Bedas Sapujagat merupakan kolaborasi dan integrasi dalam penanganan permasalahan perkawinan usia anak yang melibatkan berbagai stakeholders.
Program ini juga merupakan pemberdayaan masyarakat, khususnya pada remaja sebagai role model dalam pendewasaan usia perkawinan.
Sedangkan kasus prevalensi stunting di Kabupaten Bandung tercatat masuk dalam kategori sangat tinggi di 27 kabupaten/ kota di wilayah Jawa Barat.
Selain Kabupaten Bandung, tiga daerah lain yakni Kota Cirebon, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Garut juga dinyatakan daerah dengan prevalensi stunting sangat tinggi.
Pemerintah Kabupaten Bandung saat ini terus melakukan berbagai upaya untuk mengatasi prevalensi kasus stunting (gangguan pertumbuhan) pada anak. Upayanya diawali dengan melakukan pemetaan desa dengan risiko stunting tinggi. Ada 65 desa yang masuk daftar prioritas.
Data SSGI (Studi Status Gizi Indonesi, menunjukkan prevalensi stunting di wilayah Kabupaten Bandung mencapai 31,1 persen atau 112.000 jiwa.
Dalam program upaya penurunan stunting, Pemkab Bandung sendiri sudah mengalokasikan sebesar Rp14 miliar dari APBD. Diharapkan pula pemerintah desa untuk mengalokasikan 32 persen anggaran dana desa untuk mengatasi stunting.
Pemkab Bandung juga secara kelembagaan sudah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) tingkat kabupaten hingga level desa yang diperkuat dengan pendekatan pentahelix mlibatan unsur masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan juga media untuk membantu menekan stunting.(deddy)