BIPOL.CO, JAKARTA – Video Mbah Benu pemimpin Jamaah Aolia belakangan sempat viral di media sosial. Dalam video yang mengatakan memiliki cara tersendiri dalam menentukan waktu tibanya Idul Fitri.
Menurutnya, Jamaah Aolia tidak melakukan perhitungan, melainkan menelpon Allah SWT untuk mengetahui penentuan harinya. “Nggak pakai perhitungan, saya telepon langsung kepada Allah Taala,” kata Mbah Benu dalam video viral itu.
Pernyataan Mbah Benu tersebut sontak menuai kontroversi dari berbagai pihak. Baik Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah memberikan pernyataan mengenai ucapan Mbah Benu tersebut.
PBNU bahkan tegas mengecam pernyataan menelpon Allah SWT untuk mengetahui Hari Raya Idul Fitri.
Imam Masjid Aolia, Gunung Kidul, Yogyakarta, KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo yang akrab disapa dengan Mbah Benu akhirnya meminta maaf atas pernyataannya yang viral mengaku penentuan Hari Raya Idul Fitri 2024 setelah ‘Menelpon Allah’. Jamaah ini melaksanakan sholat Idul Fitri 2024 padaJumat (5/4/2024).
Pernyataan Mbah Benu tersebut sontak mendapatkan reaksi keras dari banyak pihak. Banyak dari mereka mengecam pernyataan Mbah Benu yang ‘Menelpon Allah’ dalam menentukan Idul Fitri 2024.
Mbah Benu kemudian membuat klarifikasi atas pernyataannya yang viral. Ia juga meminta maaf kepada semua pihak atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
“Terkait pernyataan saya tadi pagi tentang istilah telpon gusti Allah Subhanahu wa taala. Itu sebenarnya hanya istilah dan yang sebenarnya adalah perjalanan spiritual saya kontak batin dengan Allah. Apabila pernyataan saya yang menyinggung atau tidak berkenan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak,” ujar Mbah Benu dalam video permintaan maafnya.
PWNU DIY Temui Mbah Benu
Sebelumnya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta mengungkap telah melakukan dialog dengan Mbah Benu.
Ada hasil positif dari pertemuan mereka dengan pimpinan Jamaah Masjid Aolia, Raden Ibnu Hajar Pranolo alias Mbah Benu, di Gunungkidul.
Pertemuan ini dilakukan pasca-Idulfitri versi Jamaah Masjid Aolia pada Jumat (5/4), jauh lebih awal dari lebaran pemerintah maupun Muhammadiyah yang diprediksi, Rabu (10/4).
“Alhamdulillah, silaturrahim klarifikasi dan mitigasi Mbah Ibnu Hajar berjalan lancar,” kata Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) DIY Fajar Abdul Bashir dalam keterangan resminya yang diterima, Senin (8/4).
Dari pertemuan ini, Fajar melihat Mbah Benu adalah sosok terbuka dan mudah diajak berkomunikasi. Tak sulit baginya untuk menerima masukan.
Akan tetapi, kata dia, keyakinan ‘kontak’ dengan Allah itu belum bisa hilang 100 persen dan perlu sering dimitigasi supaya bisa kembali ke syariat secara utuh.
“Meskipun agak sulit menjelaskan, karena selain faktor usia, juga karena sudah berkurang pendengarannya, alhamdulillah Mbah Ibnu Hajar sudah mulai taslim. Saya menilai tidak cukup satu atau dua kali, tapi perlu beberapa kali menjelaskan,” tuturnya.
Jika keyakinan Mbah Benu ini nantinya memang sulit dihilangkan, Fajar menyarankan agar hal itu cukup kepentingan pribadi dan tak perlu mengajak masyarakat lain.
Fajar juga menyarankan kepada Mbah Benu manakala ada masyarakat yang masih bingung agar mengikuti ketetapan NU dan Pemerintah, bukannya menuruti ijtihad ‘kontak batin’ tadi.
“Dan alhamdulillah Mbah Ibnu Hajar menyepakati hal-hal ini. Untuk hal-hal lain, kami tidak menemukan kejanggalan, seperti shalat, dzikir yang dibaca, dan syariat lainnya masih sama sebagaimana syariat pada umumnya,” ungkap Fajar.
Soal capaian spiritual
Fajar pun mengungkap alasan Mbah Benu menetapkan awal dan akhir Ramadhan hingga selisih lima hari dari umat Islam lainnya. Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, penetapan awal dan akhir Ramadhan jemaah Aolia itu didasarkan pada kontak batin dengan Allah.
“Yang mana dia telah mengatakan wushul (sampai) kepada Allah,” kata Fajar.
Menurut dia, wushul ilallah atau capaian spiritual menempuh jalan ilahi didapat Mbah Benu ketika ziarah ke makam Syech Jumadul Kubro tanggal 21 November 2021. “Jadi, sejak itu dia selalu melakukan ‘kontak’ dengan Allah setiap ada tamu yang akan meminta nasehat. Setelah Mbah Ibnu klarifikasi, kita menyimpulkan bahwa ada masalah yang mukholifussyar’i tentang masalah wushul atau ‘kontak’ dengan Allah,” ungkapnya.
Kepada Mbah Benu, Fajar menerangkan metodologi penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Beberapa dalil ia cuplik dari Alquran maupun hadits.
Fajar menjelaskan wushul ilallah merupakan haq, sesuatu yang benar, akan tetapi tetap tidak bisa lepas dari syariat. Menurut dia, orang yang mengaku wushul ilallah tapi lepas dari syariat tak ubahnya layangan putus.
Fajar mencontohkan Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang Nabi sekaligus Rasul dan tak ada orang yang wushul-nya melebihi capaiannya.
Dalam menentukan awal dan akhir bulan, Nabi Muhammad tak melakukan kontak batin dengan Allah SWT, melainkan meminta para sahabatnya melakukan rukyatul hilal atau pemantauan kondisi Bulan untuk menentukan awal Ramadhan hingga Syawal.
“Nabi perintah melihat hilal itu merupakan wahyu dari Allah. Artinya, penetapan awal dan akhir bulan [hijriyah] melalui ru’yatul hilal itu merupakan wahyu dari Allah. Sebab apa yang dilakukan Nabi Muhammad baik perkataan, perbuatan, maupun diamnya, merupakan wahyu,” terangnya.
Bulan masih kelihatan
Sebelumnya, PWNU DIY menyatakan ada kejanggalan dalam metode penentuan Ramadan dan Syawal Jamaah Masjid Aolia yang didasarkan pada klaim perjalanan spiritual serta kontak batin Mbah Benu dengan Allah SWT.
Bagi PWNU, penentuan Ramadhan dan Syawal yang sah hanya dengan dua pedoman, yakni rukyatul hilal versi negara MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura) dan istikmal.
Meski beda standar hilalnya, kriteria-kriteria itu mensyaratkan bulan baru hijriah berganti saat Bulan sudah melewati satu putaran penuh mengelilingi Bumi atau fase bulan baru.
“Kalau NU itu pedomannya, sedangkan hitung-hitungan lain seperti hisab, hitungan astronomi yang lain, itu hanya sebagai alat konfirmasi karena memang dalilnya begitu. Nabi menegaskan untuk mulai puasa atau idulfitri harus dengan rukyat, sehingga data-data ilmiah itu sebagai alat konfirmasi,” jelas Ketua PWNU DIY Ahmad Zuhdi Muhdlor, Minggu (7/4).
Dengan metode kontak dengan Tuhan itu, Jamaah Masjid Aolia yang berpusat di Panggang, Gunungkidul, DIY telah melaksanakan Idulfitri pada Jumat (5/4) atau selisih jauh dari prediksi pemerintah dan Muhammadiyah yang jatuh pada Rabu (10/4) besok.
“Kalau selisihnya cuma sehari maksimal dua hari mungkin masih masuk akal, ditolerir karena mungkin perbedaan, nah ini kan lima hari,”
“Wong bulannya aja masih kelihatan jelas di langit kok sudah mulai (lebaran), lha ini masih bulan syaban. Itu dari mana, Islam kan tidak mengenal hitungan-hitungan ajaran yang berdasarkan mimpi atau wisik kan enggak,” tutur Ahmad.
Dengan alasan itu, PWNU mengutus perwakilan dari Aswaja Center dan Lembaga Penyuluhan Bantuan dan Hukum (LPBH) NU untuk berdialog dengan Mbah Benu di Gunungkidul, Minggu kemarin.(“)