BANDUNG.bipol.co – Pemerintah Kota Pemkot Bandung masih mengkaji sejumlah solusi alternatif terkait honorarium bagi guru dan Tenaga Administrasi Sekolah (TAS) non-PNS. Pemkot Bandung memastikan, solusi yang bakal dipilih tetap berpegang pada regulasi yang ada.
Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana menuturkan pemberian honorarium bagi guru dan TAS non PNS bukan hanya berdasarkan pada Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 014 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Honorarium Peningkatan Mutu Bagi Guru dan Tenaga Administrasi Sekolah Non Pegawai Negeri Sipil. Namun, juga merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Minimal Pendidikan.
“Jadi semangatnya hari ini kita mencari solusi. Hari ini kita baru merangkum berbagai masukan. Tapi solusi ini tidak boleh juga melanggar hukum,” kata wakil wali kota di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana, Senin (13/5/2019).
Sesuai dengan Permendikbud Nomor 32 Tahun 2018, terdapat standar teknis pelayanan minimal (SPM) yang secara terpadu berskala nasional harus diregistrasi dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Apabila sudah sesuai dengan kriteria, maka data guru dan TAS non-PNS tersebut akan muncul dalam Dapodik.
Wakil wali kota mengungkapkan, sesuai laporan Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung, saat ini terdata 8.868 orang guru dan TAS non-PNS yang sudah sesuai kualifikasi dan terverifikasi dalam Dapodik. Sementara 2.418 orang lainnya terdata tidak lulus kualifikasi.
“Jadi di Permendikbud itu ada standar kompetensi. Setelah diverifikasi tanggal 10 Mei 2019, ada beberapa yang tidak memenuhi standar sesuai Permendikbud. Karena Permendikbud juga menerapkan ada sanksi,” bebernya.
Ia menuturkan, jika dipaksakan memberikan honorarium kepada 2.418 orang guru dan TAS non-PNS, maka hal itu melanggar aturan. Namun, dia menyatakan Pemkot Bandung tetap ingin mencari jalan keluar agar tetap ada solusi untuk persoalan tersebut.
“Itu belum terjawab, makanya kita cari solusi. Teman-teman sudah bekerja, jadi harus ada honornya. Tetapi selama itu tidak melanggar aturan. Karena ada aturan yang mengikat, kalau melanggar ada sanksi buat pimpinan,” tambahnya.
Ia juga merespon aspirasi guru dan TAS non-PNS yang sulit mengejar jam mengajar selama 24 jam sesuai dengan aturan. Dari pengamatan sementara, hal itu tidak terlepas dari jumlah guru dan TAS non-PNS yang terlalu banyak.
“Mungkin karena merekrut terus akhirnya overload. Tidak terpetakan kebutuhan sebenarnya. Mungkin saja dari jumlah 11.000 ini sudah overload sehingga untuk kejar 24 jam kan sulit,” bebernya.
Wakil walikota mengaku sulit memonitor jumlah jumlah guru dan TAS non-PNS, karena perekrutannya oleh kepala sekolah. Padahal, sambung dia, aturannya pengangkatan guru dan TAS non-PNS itu tidak diberikan kepada kepala sekolah.
“Lazimnya itu karena sekolah merekrut sendiri. Tetapi saya tanya ke BKPP (Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan), tidak pernah memberi kewenangan untuk sekolah merekrut. Sekolah negeri harus dari Disdik atau wali kota. Sedangkan sekolah swasta cukup ketua yayasan, tapi tetap harus melaporkan kepada Disdik,” tuturnya. (rls)
Editor Deden .GP