JAKARTA, bipol.co – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin, menegaskan bahwa agama harus menjadi pemecah masalah kebangsaan dan bukan menjadi bagian dari masalah.
“Apalagi menjadi problem maker atau pencipta masalah, jangan sampai,” kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Hal tersebut disampaikan oleh Din Syamsuddin dalam pidatonya saat menghadiri “The 2nd Baku Summit of World Religious Leaders” atau Pertemuan Puncak Para Tokoh Agama Dunia Baku Kedua di Baku, Azerbaijan pada 14-16 November 2019.
Ia menjelaskan setiap agama harus mampu menampilkan paradigma etik bagi pembangunan nasional agar pembangunan tidak salah arah dan hilang mutiara moral. Sebab jika hal itu terjadi, maka peradaban akan berubah menjadi kebiadaban.
Hal ini sejalan dengan para elit politik yang seharusnya tidak alergi dan sinis terhadap agama karena sebuah negara dan bangsa beserta ideologinya masing-masing akan semakin kuat dengan etika dan moralitas keagamaan.
“Setiap tokoh-tokoh agama di dunia hendaklah mengawal negara dan bangsa di mana mereka berada,” kata Guru Besar Politik Islam Global Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Jakarta ini.
Selain itu, Din Syamsuddin dalam presentasi lainnya juga menjelaskan terkait bahayanya radikalisme dan ekstrimisme, apalagi dalam bentuk kekerasan dan bersifat anti kemanusiaan.
Namun, ia mengingatkan bahwa radikalisme dan ekstrimisme itu tidak hanya bersifat keagamaan, namun juga bersifat nonkeagamaan, misalnya radikalisme sekuler.
Bahkan ada pula yang lebih berbahaya, yakni jika bercampur dengan kebebasan sehingga menjadi radikalisme sekuler-liberal. Hal ini berbahaya sebab sering merasuk ke dalam sistem kehidupan nasional, termasuk politik dan ekonomi.
“Radikalisme sekuler-liberal yang merasuki sistem politik dan ekonomi negara akan membuat negara itu rusak, bahkan runtuh,” ujar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Hal inilah, ujarnya, yang saat ini banyak menjadi fenomena di beberapa negara sehingga mengancam ideologi negara yang ada.
Celakanya, kata dia, banyak elite politik tidak menyadari bahkan terbawa arus pengembangan isu ancaman radikalisme agama, sementara mereka tengah mengancam eksistensi negara mereka sendiri.
Secara umum, dalam “The 2nd Baku Summit of World Religious Leaders” atau Pertemuan Puncak Para Tokoh Agama Dunia Baku Kedua ini hadir sekitar 200 tokoh berbagai agama dunia dan dibuka oleh Presiden Azerbaijan Ilham Aliyef.
Dari Indonesia, selain Din Syamsuddin juga hadir Anggia Ermarini, Ketua Umum Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama serta anggota DPR RI.
Pada pertemuan itu dibahas sejumlah isu yang menjadi tantangan penciptaan perdamaian dunia di antaranya multikulturalisme, ekstrimisme, islamofobia, kristenofobia, anti semitisme dan ujaran kebencian. Isu-isu tersebut merupakan fenomena dunia dan menjadi kendala besar perdamaian.* ant
Editor: Hariyawan