“Beli senjata itu tidak seperti beli TV atau beli mobil di dealer. Tetapi, butuh ‘clearence’, butuh kesepakatan G to G (government to government),” katanya, di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (23/1).
Apalagi menyangkut bisnis senjata, kata dia, walaupun pembeliannya adalah B to B (business to business), tetapi pada akhirnya berkaitan dengan kebijakan dan perizinan sehingga melibatkan juga G to G.
“Beli senjata dan alutsista itu, walaupun membelinya bisnis to bisnis, tapi akhirnya nanti ‘clearence’-nya ada G to G. Sebab itulah, dibutuhkan diplomasi,” katanya.
Itulah alasannya, kata dia, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto banyak melakukan kunjungan ke luar negeri, yakni dalam rangka diplomasi pertahanan.
Bukan sekedar melakukan diplomasi pertahanan, dalam hal menjaga hubungan baik dengan negara yang strategis, lanjut dia, tetapi juga terkait dengan persenjataan, alutsista, misalnya “clearence”.
“Kemudian, yang kedua juga tentu memperhatikan aspek geopolitik dan geostrategis,” katanya.
Oleh karena itu, Dahnil mengatakan jika ada yang mengkritik Menhan sering jalan-jalan ke luar negeri, artinya mereka tidak punya pemahaman baik tentang tugas-tugas pertahanan.
“Ada diplomasi pertahanan yang sangat penting harus dilakukan. Jadi, kalau ada kritik seolah-olah menyebut pak Prabowo jalan jalan ke luar negeri ini membuktikan bahwa ada masalah dengan literasi pertahanan para politisi kita,” katanya. (net)