Doktor Administrasi Kebijakan Publik dan Bisnis Universitas Indonesia ini mengemukakan di Semarang, Senin pagi (16/3), setelah Presiden RI Joko Widodo pada hari Ahad (15/3) menyatakan Indonesia sebagai darurat bencana nasional.
Sesuai dengan UU No. 6/2018, Presiden meminta seluruh komponen bangsa untuk melakukan pembatasan kegiatan.
Hal ini, menurut Dewi Aryani, selaras dengan penjabaran istilah “pembatasan sosial” atau social distancing.
“Sudah semestinya menggunakan istilah pembatasan sosial berskala besar dengan merujuk pada jumlah wilayah di Indonesia yang sudah banyak terpapar COVID-19, bahkan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 sebagai pandemi,” kata politikus PDI Perjuangan itu.
Dewi Aryani menyampaikan apresiasi terhadap langkah pemerintah menangani dan mencegah virus mematikan itu. Hal itu sekaligus merupakan bukti bahwa Indonesia negara berdaulat dan tetap mempertimbangkan situasi nasional maupun internasional.
Oleh karena itu, Dewi Aryani menilai peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum langkah tepat untuk meminimalkan jumlah kasus COVID-19 di Tanah Air.
Menyinggung soal lockdown atau penutupan akses di sejumlah tempat, dia menyatakan pemerintah sudah benar tidak melakukan lockdown seperti negara lain ketika menghadapi COVID-19. Hal itu mengingat situasi dan kondisi geografis jauh berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang luas.
“Pada saat lockdown, ekstremnya semua akan di-locked atau dikunci, baik akses masuk maupun keluar, termasuk distribusi logistik akan terhenti,” kata wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX (Kabupaten/Kota Tegal dan Kabupaten Brebes) itu.
Jika diberlakukan lockdown, kata dia, justru berpotensi pelanggaran terhadap undang-undang karena tidak ada istilah tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Tanah Air, termasuk di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
Dewi Aryani juga mengingatkan Kementerian Kesehatan segera menerbitkan Peraturan Menkes terkait dengan UU tersebut agar segala hal teknis mengenai implementasinya segera dapat menjadi dasar hukum atau pegangan seluruh kementerian dan lembaga terkait, termasuk pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia.
“Berdasar ketentuan, paling lama permen dan turunannya harus ada paling lambat tiga tahun setelah UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan diundangkan,” kata anggota Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI itu. (net)