“Walaupun dengan skala yang berbeda-beda, tapi dampaknya makin nyata dan upaya penanganan mesti dilakukan secara strategis dan terukur oleh pemerintah,” ujar Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Minggu (10/5).
“Supply chain-nya berkaitan dengan penyerapan hasil tangkap dan penyerapan pekerja perikanan sehingga stabilitas industri perikanan mesti juga menjadi fokus pemerintah,” ucapnya.
Ia mengemukakan COVID-19 telah menyebabkan menurunnya permintaan dari luar negeri sebanyak 30-40 persen dan menyebabkan gudang penyimpanan penuh sehingga membuat perusahaan mengurangi suplai bahan baku.
Selanjutnya, pembatasan transportasi dan pekerja di pabrik mengurangi kapasitas penyerapan ikan dari nelayan dan juga pengurangan output produksi sekitar 10 persen.
Ketua Asosiasi Pole & Line and Handline Indonesia (AP2HI) Janti Djuari juga mengatakan saat ini industri perikanan tangkap mengalami tekanan karena kesulitan dalam pengiriman bahan baku baik melalui transportasi laut, udara, dan juga domestik serta luar negeri.
Selain itu, lanjut dia, nelayan juga mengurangi waktu melaut dikarenakan pembatasan di pelabuhan (karantina sebelum bersandar) dan kurangnya penyerapan dari pabrik pengolahan.
“Selain penyerapan pasar dalam negeri dan ekspor yang menurun, usaha kami terhambat pada jalur distribusi bahan baku yang terbatas karena adanya kebijakan pembatasan pergerakan orang oleh pemerintah,” kata Janti.
Sementara itu Indonesia Program Manager International Pole and Line Foundation (IPLNF) Heri mengatakan pada masa pandemi ini, usaha restoran, hotel foodservice mengalami tekanan paling berat seiring permintaan konsumen yang menurun.
“Dibandingkan sektor pengolahan dan ritel, sektor hospitality adalah yang paling terpukul,” katanya.
Ia menyarankan masyarakat ikut membantu industri perikanan tangkap dengan membeli produk seafood lokal dan meminta pemerintah agar memberikan bantuan sosial kepada nelayan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muh Zulficar Mochtar mengatakan pihaknya telah menyiapkan strategi untuk mengurangi resiko atau dampak COVID-19 pada sektor perikanan.
Salah satunya adalah dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Alih Muatan pada Kapal Perikanan.
Dalam SE itu menyebutkan kapal pengangkut ikan yang mempunyai SIKPI dapat mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan baik yang tercantum dalam SIKPI maupun yang tidak tercantum dalam SIKPI.
“Namun demikian, kelonggaran ini tetap dengan ketentuan bahwa ikan hasil tangkapan tidak boleh dibawa ke luar negeri dan pelaksanaannya bermitra dengan kapal penangkap ikan,” kata Zulficar.
KKP, lanjut dia, juga telah mengusulkan perluasan cakupan Peraturan Menteri Keuangan No 23 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona, dengan memasukkan kegiatan industri kelautan dan perikanan.
“Target penerima manfaat adalah industri kelautan dan perikanan berdasarkan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia,” katanya.
Senior Ocean Consultant Aki Baihaqi menyampaikan saat ini terdapat tiga fenomena pada industri perikanan tangkap yaitu penurunan permintaan produk, oversupply dan anjloknya harga produk perikanan.
Ia menyarankan pemerintah segera melakukan pemetaan dampak dan target serta sasaran intervensi pada sektor perikanan.
“Untuk upaya penyelamatan, pilihan intervensi pemerintah bisa dilakukan pada 4 area yaitu transfer cash, sistim resi gudang, memperkuat akses pasar, pemberian insentif dan subsidi kepada pelaku usaha,” kata Aki. (net)