“Memang hak Pertamina. Karena dana kompensasi tersebut merupakan utang Pemerintah kepada Pertamina,” ujarnya di Jakarta, Kamis (28/5).
Utang Pemerintah yang dibayar melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tersebut, lanjutnya, karena Pertamina sudah melaksanakan berbagai penugasan Pemerintah sejak 2017, antara lain, subsidi Elpiji 3Kg, subsidi BBM jenis tertentu, program BBM Satu Harga.
Menurut dia, nilai utang tersebut sudah melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bersumber dari Laporan Keuangan Pertamina yang dipublikasikan Semeseter I 2019, lanjut Abra, total utang Pemerintah sejak 2017 sekitar 5,1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp76,9 triliun.
“Tetapi yang dibayarkan Pemerintah melalui dana kompensasi, hanya sekitar 58 persen. Itupun tidak dibayar langsung seluruhnya namun setengahnya dibayar tahun ini dan sisanya diangsur hingga 2022,” katanya melalui keterangan tertulis.
Peneliti Indef itu berpendapat, pembayaran utang berupa dana kompensasi tersebut, sangat berarti bagi Pertamina, sebab, BUMN tersebut membutuhkan dana untuk meringankan biaya operasional, cashflow, dan juga investasi.
“Selain itu, tentu bisa dipergunakan juga untuk membayar kewajiban jangka pendek Pertamina. Apalagi, tahun ini revenue Pertamina tergerus, penjualan juga merosot,” katanya.
Untuk itulah, menurut dia, dana kompensasi tersebut agar tidak dikaitkan dengan wacana pemberian stimulus, yakni diskon BBM kepada dunia usaha.
Jika dikaitkan, lanjutnya, seolah-olah Pemerintah sudah memberikan stimulus melalui Pertamina, padahal sebenarnya dana tersebut utang Pemerintah karena BUMN itu sudah menjalankan penugasan sepanjang tiga tahun lalu.
“Kalau itu yang terjadi, akan jadi beban lagi buat Pertamina. Kalau Pertamina sulit menjalankan, BUMN tersebut yang akan dikejar. Makanya, untuk stimulus kepada dunia usaha, Pemerintah harus mengalokasikan lagi melalui APBN tahun ini,” katanya. (net)