“Kami siap memberikan pelayanan terbaik bagi warga Badui yang mendaftarkan pengajuan permohonan akta kelahiran anak,” kata Kepala Bidang Akta Catatan Sipil Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Lebak Marlia Kurniasih, di Lebak, Selasa (30/6).
Selama ini, pihaknya belum bisa melakukan jemput bola untuk melayani permohonan kependudukan kepada masyarakat, termasuk akta kelahiran, sehubungan masa pandemi COVID-19 itu.
Biasanya, pelayanan dilakukan dengan cara jemput bola untuk kemudahan bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, sebab wilayah Kabupaten Lebak cukup luas dengan 28 kecamatan.
Pihaknya juga melayani masyarakat Badui Luar maupun Badui Dalam untuk kepengurusan identitas kependudukan.
Namun, selama masa pandemi COVID-19 tidak ada masyarakat Badui yang mendaftarkan permohonan akta kelahiran.
“Kami sampai saat ini belum ada anak-anak Badui yang mengurus akta kelahiran, padahal mereka diberikan kemudahan untuk mendapatkan akta itu,” katanya menjelaskan.
Selain itu, juga dilengkapi dua KTP saksi dan surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA).
Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki surat nikah, maka bisa mengajukan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) ke Disdukcapil setempat.
Proses pembuatan akta kelahiran itu bisa rampung selama dua hari jika terpenuhi persyaratan itu.
Selama ini, permohonan pengajuan akta kelahiran anak untuk masyarakat umum di luar anak-anak Badui mencapai 300 orang per hari, dan kematian antara tujuh sampai delapan orang.
“Kami akan memproses akta kelahiran jika masyarakat Badui mengurus permohonan pembuatan akta kelahiran anak-anaknya,” ujarnya menegaskan.
Tetua adat Badui Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Jaro Saija mengatakan saat ini jumlah warga Badui Luar dan Badui Dalam tercatat 14.500 jiwa, dengan 4.326 jiwa tersebar di 68 kampung.
Sebagian besar anak-anak Badui tidak memiliki akta kelahiran, karena dilarang mengikuti pendidikan di sekolah, mengingat bertentangan dengan adat setempat.
“Dari 68 perkampungan di kawasan Badui hanya satu kampung yang ada sekolah, yakni Kampung Cicakal Girang,” katanya lagi.
Bidan Eros Rosita yang bertugas di wilayah tersebut mengemukakan bahwa orang tua Badui menolak untuk memiliki akta kelahiran anak mereka.
Diperkirakan anak Badui setiap tahun bertambah kelahiran sebanyak 350 anak dari sembilan posyandu yang ada.
“Kami setiap kelahiran selalu menawarkan akta kelahiran, tetapi orang tuanya tidak mau. Saat ini warga Badui yang memiliki akta kelahiran hanya di Kampung Cicakal Girang, dan itu juga tidak semua,” ujarnya lagi. (net)