BIPOL.CO, JAKARTA – Diterbitkannya Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai kontroversi dan kritikan sejumlah pihak. Bahkan sebagian pihak menilai atas diterbikannya Perppu Cipta Kerja itu, Jokowi bisa
dimakzulkan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengungkap celah yang bisa membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dimakzulkan akibat menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Jimly menyebut ada celah dari penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang berpeluang digunakan untuk memakzulkan Presiden Jokowi.
Menurut dia, langkah Jokowi dalam menerbitkan perppu itu pun melanggar prinsip negara hukum. Selain itu, pemerintah juga masih memiliki waktu untuk memperbaiki substansi yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja.
Jika berkaca pada pernyataan sikap delapan fraksi di DPR terkait sistem proporsional tertutup, bukan tidak mungkin terbuka peluang untuk memakzulkan Jokowi.
“Kalau sikap partai-partai di DPR dapat dibangun seperti sikap mereka terhadap kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup, bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment (pemakzulan),” ujar Jimly, dilanair dari Warta Ekonomi.
Jimly juga menilai adanya potensi Perppu Cipta Kerja dibuat untuk menjebak Jokowi, agar dapat diberhentikan di tengah jalan.
“Bisa juga usul Perppu Ciptaker tersebut memang sengaja untuk menjerumuskan Presiden Jokowi untuk pemberhentian di tengah jalan,” ujarnya
Reaksi Istana
Pernyataan Jimly itu segera ditanggapi pihak Istana yang diwakili Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan.
Irfan menilai proses pemakzulan tak bisa dilakukan dengan mudah karena harus melalui beberapa tahapan yang diatur di dalam UUD 1945.
“Kita menghormati pendapat Pak Jimly yang merupakan pendapat personal. Sebagai profesor yang amat terpelajar, kita amat menghormati. Namun proses pemakzulan itu ada tahapannya, tidak semudah itu. Tentu diatur dalam UUD 1945,” kata Irfan saat dihubungi Republika, Jumat (6/1/2022).
Irfan pun tak mempersoalkan adanya potensi pemakzulan terhadap Presiden pascaditerbitkannya Perppu Cipta Kerja. Namun, ia meminta agar masyarakat menunggu pembahasan di DPR.
“Silakan nanti apakah wacana yang digelindingkan Prof Jimly itu memenuhi syarat bertentangan UUD 1945. Itu kita uji dalam DPR Apakah cukup unsur Prof Jimly mengatakan itu karena diatur dalam UUD 45 Pasal 7A dan 7B,” ujarnya.
Perppu Cipta Kerja diterbitkan Presiden Jokowi dengan alasan kegentingan untuk mengantisipasi kondisi global, ancaman resesi global, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, hingga dampak dari perang Ukraina dan Rusia. Irfan mengatakan, alasan kegentingan ini nantinya akan diuji oleh DPR sebelum memberikan persetujuan atau penolakan pengesahan Perppu Cipta Kerja.
Kendati demikian, menurut dia, alasan kegentingan dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini sudah memenuhi unsur.
“Kegentingan ini nanti diuji di DPR. Frasa itu diuji di DPR disampaikan (pemerintah) di DPR dengan argumentasi dan penjelasannya. Nantinya DPR akan melihat urgensinya itu. Itu kita lihat, tinggal di DPR lah kita menunggu,” ujar dia.
Irfan mengatakan, Presiden Jokowi memiliki kewenangan dan juga hak untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja selama sesuai dengan regulasi yang ada.
YLBHI: Bentuk Pembangkangan
Sebelumnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam siaran persnya yang ditandatangani Ketua Umum Muhamad Isnur menilai, penerbitan PERPU ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
“Ini semakin menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK,” katanya.
Dia mengatakan, Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.(deddy)