JAKARTA, bipol.co – Lima belas menit jelang keberangkatan bus mudik “Hiba Putra” di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, menuju Garut (Jabar), Tatang Romansyah masih termenung di kursi tunggu penumpang pada zona transit bus antarkota, Kamis (30/5/2019) siang.
Pria yang berprofesi sebagai sopir bus sejak 1991 itu berupaya membunuh bosan sambil sesekali menatap ke arah kursi penumpang di kabin bus yang baru setengahnya terisi pemudik.
“Kalau sewa sepi begini, bingung juga saya Lebaran nanti mau bagaimana. Beberapa tahun terakhir ini, pendapatan saya berkurang karena ada terminal bayangan di Cililitan,” katanya kepada Antara.
Sewa yang dimaksud adalah penumpang bis. Kalangan sopir biasanya menyebut dengan istilah sewa.
Kebutuhan bagi keluarga menjelang Idul Fitri 1440 Hijriah atau Lebaran 2019 yang belum terpenuhi membuat pria kelahiran 42 tahun silam itu resah. Alasannya, tanggungan tiga istri berikut tujuh anak dan tiga cucu menjadi beban ekonomi yang tidak ringan bagi Tatang.
Postur tubuh tinggi agak gemuk, potongan rambut cepak, dan tampang cenderung sangar menjadikan Tatang cukup disegani oleh rekan seprofesi. Tapi penampilan itu tidak menyurutkan antusiasme dan keramahannya. Tatang pun berbagi kisah mengenai tuntutan kebutuhan keluarga besarnya.
Prinsip adil
Bagi Tatang, adil itu tidak selalu harus sama rata. Hak masing-masing istri dan keluarganya bisa tercukupi sesuai dengan kebutuhan menjadi hal yang penting. “Yang penting cukup buat beli baju, makan, dan beli barang-barang yang diminta istri dan anak meskipun nominalnya tidak selalu sama rata,” katanya.
Tatang mencontohkan, MN (39) istri yang dinikahi kali pertama pada 1996, saat ini sudah dikaruniai dua anak laki-laki dan dua perempuan.
MN saat ini memiliki penghasilan dari kerja serabutan serta pemberian dari dua putranya yang sudah bekerja dan berkeluarga. Tatang masih berkewajiban memenuhi kebutuhan Lebaran bagi dua putri MN yang masih bersekolah, termasuk dua cucunya yang masih balita.
Sementara AH (41) yang menikah dengan Tatang pada 2000, dikaruniai dua putri serta satu cucu. Tatang memutuskan hanya memberi Tunjangan Hari Raya (THR) berikut uang bulanan kepada AH dan si bontot yang masih di bangku SMA karena putri sulung dari AH sudah berkeluarga. “Kalau AH dapatnya bisa agak gedean karena masih saya tanggung penuh untuk anak dan cucu,” katanya.
Hal yang justru agak memusingkan bagi Tatang adalah tuntutan dari istri mudanya, MG (28). Bahtera rumah tangga yang baru berjalan setahun membuat MG cenderung manja dan menuntut lebih dari istri lain Tatang.
Tatang mengaku hidup berumah tangga dengan tiga istri yang kediamannya terpisah di Garut relatif harmonis karena masing-masing istrinya sudah saling menerima keadaan mereka.
Target pribadi
Tatang lantas berhitung tentang target rupiah yang harus dikejar hingga H-6 Lebaran atau Kamis (30/5). “Saya harus dapat minimal Rp500.000 per hari untuk Lebaran nanti dari sewa penumpang,” katanya.
Perusahaan Otobus (PO) tempatnya bekerja menetapkan sistem setoran dari pendapatan karcis penumpang. Tatang harus menyetor Rp 2 juta ke perusahaannya untuk rata-rata pendapatan yang diperoleh sekitar Rp 5 juta per bulan.
Khusus saat mudik Lebaran, Tatang harus mengejar pendapatan tambahan Rp 500.000 per hari. Total pendapatan dari tambahan tersebut, menurut Tatang, sudah cukup untuk membiayai seluruh keluarganya.
Tradisi kumpul keluarga pada hari Lebaran juga menuntut kepiawaian Tatang dalam mengatur waktu silaturahmi menuju ke kediaman istrinya di tengah waktu kerja melayani pemudik.
“Yang jadi masalah, jarak dari satu rumah istri ke rumah istri lain di Garut itu bisa satu sampai dua jam perjalanan. Tapi, saya utamakan istri yang tua. Minimal bisa salat Id bersamanya,” katanya.
Bagi Tatang, berpoligami dengan pendapatan terbatas bukan halangan untuk membahagiakan seluruh anggota keluarganya pada hari raya umat Islam itu.
Kerja keras dan tetap menjaga stamina prima menjadi kunci keharmonisan keluarga ketika merayakan Lebaran nanti. (ant)**
Editor: Ude D Gunadi