SOREANG, bipol.co — Komisi D DPRD Kabupaten Bandung siap mendorong Peraturan Daerah (Perda) pengelolaan Sarana Olah Raga (SOR) Si Jalak Harupat, termasuk pengelolaan Stadion Mini Jalak Harupat yang kini sedang dibangun.
“Dari hasil diskusi (saat peninjauan dengan Wakil Bupati Bandung, Red.) perlu ada aturan atau regulasi yang mengatur pengelolaan sarana Jalak Harupat ini,” kata Ketua Komisi D, Maulana Fahmi, kepada wartawan, saat peninjauan bersama Wakil Bupati Bandung, H. Gun Gun Gunawan, di SOR Di Jalak Harupat, Kutawaringin, Kabupaten Bandung, Kamis (28/11/2019).
“Yang kami evaluasi pertama optimalisasi dari penggunaan tiap sarana yang ada. Kemudian bagaimana ke depannya supaya sarana olahraga ini menjadi sumber pendapatan (PAD). Selain yang paling utama ‘kan pusat olah raganya,” tutur Fahmi.
Regulasi pengelolaan SOR Jalak Harupat ini, kata Fahmi, perlu didukung dan menjadi bahan diskusi di dewan dan akan masuk di-Prolegda.
“Saya pikir kalau tujuannya ingin mempercepat optimalisasi sarana, perlu didukung juga untuk dipercepat. Komisi D akan mendorong dan mulai 2020 ada pembahasan Musrenbang dan Prolegda kita masukan ke sana,” ucap Fahmi.
Mengenai anggaran pemeliharaan, Fahmi memaparkan, dengan penganggaran saat ini sebesar Rp600 juta per tahun, itu ada plus minusnya, karena Kompleks SOR Jalak Harupat cukup luas.
“Jadi bukan masalah menaikkan anggaran pemeliharaan saja, tapi bagaimana optimal penggunaannya dan optimal juga pendapatannya yang nanti akan diihasilkan,” kata anggota Fraksi PKS ini.
Dengan anggaran Rp600 juta, kata Fahmi, itu harus dioptimalkan. Karena di SOR SJH ada 72 PHL yang dibagi ke setiap venue.
“Poinnya, optimal dalam penggunaan dan otomatis nanti optimal dalam pemeliharaan. Ujungnya juga pendapatan harus maksimal,” katanya.
Untuk memaksimalkan pendapatan, imbuh Fahmi, SOR Jalak Harupat ditantang harus membuka event-event dari luar atau disewakan seperti daerah lain.
“Seperti Stadion Utama disewakan ke PT. Persib, ‘kan itu dikelola maksimal dan pemerintah menerima pendapatan sewanya termasuk pajaknya. Nah dari situ akan maksimal pendapatannya,” Fahmi menjelaskan.
Terkait mahalnya sewa lapangan, menurutnya, keluhan masyarakat itu harus dipelajari disesuaikan dengan pemasukan maupun pemeliharaan.
“Jadi keluhan itu coba kita pelajari seperti apa? Kalau lihat sewa di daerah lain, lapangan rumput sintetis itu mencapai Rp2 juta per jam. Kalau itu standard dan masyarakat mampu, tidak menutupkemungkinan di Jalak Harupat juga bisa sebesar itu. Tapi regulasinya dulu yang harus dibuat, sehingga bisa optimal,” ucapnya.**
Reporter: Deddy | Editor: Hariyawan