BANDUNG, bipol.co – Siapa yang mengira jika seorang bayi perempuan yang lahir di Cicalengka, Kabupaten Bandung pada 4 Desember 1884, ternyata dapat mengubah wajah perempuan Indonesia. Bayi itu bernama Dewi Sartika, yang dalam perjalanan hidupnya menjadi seorang pejuang dan tokoh perintis pendidikan Indonesia.
Di usianya yang baru 20 tahun, Dewi Sartika telah mendirikan sekolah. Tepatnya pada 16 Januari 1904, ia mendirikan sekolah bernama “Sakolah Isteri”di Pendopo Kabupaten Bandung.
Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. Dasyatnya, pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah serupa yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920.
Saat itu, ratusan perempuan menjadi siswinya. Hingga kini, Sekolah Kautaman Isteri masih berdiri.
Daya juang Dewi Sartika jugalah yang menginspirasi Siti Muntamah Oded untuk terus berupaya memberdayakan perempuan era ini. Baginya Dewi Sartika merupakan sosok perempuan yang hebat, sangat gigih memperjuangankan dan mengangkat peran perempuan.
“Apa yang dilakukan Dewi Sartika perlu dilestarikan, terutama untuk para perempuan dan ibu yang ada di Jawa Barat. Beliau ingin mengangkat keutamaan istri dan peran perempuan itu luar biasa yang harus dikuatkan,” ujarnya seusai menjadi narasumber dalam acara Hari Ibu di Kiara Artha Park, Kota Bandung.
Menurutnya, peran perempuan sangat signifikan terutama di dalam keluarga. Perempuan bisa menjadi benteng ketahanan keluarga yang dapat menggerakan kekuatan bangsa.
“Karena yang harus diperhatikan, peran perempuan atau ibu di dalam keluarga sangatlah penting. Perempuan akan menjadi benteng ketahanan keluarga ini bisa secara optimal sebagai dasar dari kekuatan masyarakat dan bangsa,” tutur Umi panggilan akrabnya.
Tidak hanya Siti Muntamah Oded yang mengagumi semangat Dewi Sartika. Hal ini juga menjadi inspirasi bagi Camat Antapani, Rahmawati Mulya. Baginya, Dewi Sartika telah memberikan contoh kegigihan perjuangan seorang perempuan untuk bisa meraih derajat yang lebih baik. Namun Dewi Sartika tetap tidak melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan.
“Beliau walau pun berjuang, tetapi tidak melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Itu juga yang menginspirasi saya. Setinggi-tingginya jabatan seorang perempuan di pekerjaan, jika kembali ke rumah tetap menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Suami tetap menjadi seorang imam,” kata Rahmawati.
Rachmawati menuturkan, dirinya sangat bangga dengan Dewi Sartika. “Di masanya, ia sudah berpikir bahwa perempuan harus berpendidikan. Padahal ketika itu, perempuan dianggap tidak perlu berpendidikan,” tutupnya.* humas.bandung.go.id
Editor: Hariyawan