“BUMN seperti Pertamina harus lebih berperan besar dalam mendukung pengembangan industri katalis ini, jangan takut dan malah menghindar. Kita ingat, keuntungan Pertamina itu bukan hanya miliar, bukan hanya Rp1-2 triliun, tapi sudah terakhir di atas Rp20 triliun. Jadi kalau dipakai untuk riset seperti ini saya kira tidak ada ruginya,” kata Presiden Joko Widodo dalam acara Pembukaan Rakornas Kemenristek/BRIN Tahun 2020 di kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, Kamis.
Nama Pertamina disebut oleh Subagjo yang bersama timnya di ITB sedang melakukan riset mengenai teknologi katalis. Melalui riset yang telah dimulai sejak 1982 tersebut Subagjo memiliki harapan besar untuk mewujudkan kemandirian bangsa terhadap kebutuhan katalis industri yang sebagian besar masih didapat dari impor.
“Karena saya belajar tentang katalis, diminta mencari katalis yang cocok untuk proses tersebut. Kami lakukan dan memang kami sangat gembira waktu itu. Senior-senior kami juga beberapa bilang reaksi itu menghasilkan cairan yang kadang-kadang baunya seperti solar, tergantung pada kondisi operasinya,” kata Subagjo.
Awalnya, Subagjo menceritakan kepada Presiden mengenai awal mula risetnya yang dilatarbelakangi oleh banyaknya limbah sawit yang terbuang industri. Padahal, apabila diolah sedemikian rupa limbah sawit tersebut dapat dikonversi menjadi olahan minyak bumi.
“Maksudnya, kalau temperatur tinggi hasilnya gas, bisa jadi elpiji. Kalau temperatur lebih rendah, nanti diperoleh bensin. Lebih rendah lagi kerosene. Kerosene itu bahan baku avtur. Lebih rendah lagi bisa solar,” tambah Subagjo.
“Padahal kami punya (resep) katalis yang baik untuk proses tersebut,” ucapnya.
Baru sekitar tahun 2000 riset tersebut dapat diteruskan kembali setelah menjalin kerja sama dengan Pertamina untuk mengembangkan katalis yang digunakan di BUMN tersebut.
“Sebentar, ini urusan dengan Pertamina ini. Pernah enggak dibantu dalam rangka katalis tadi dari Pertamina?” tanya Presiden begitu mendengar nama Pertamina disebut.
“Dibantu, Pak. Kami sangat terbantu banyak dan ada alat yang harganya Rp8 miliar, itu ada di laboratorium kami atas bantuan Pertamina,” jawab Subagjo.
Jumlah yang disebutkan tersebut dinilai terlalu kecil oleh Presiden. Apalagi mengingat keuntungan Pertamina yang jauh lebih besar dan subjek riset yang tergolong sebuah penemuan besar yang dapat memajukan perekonomian negara.
“Rp46 miliar? Tapi kecil juga, karena dana sawit kita sekarang mungkin sudah mendekati Rp30 triliun. Untuk apa ini hanya disimpan saja? Saya sudah perintahkan ke menteri saat itu untuk diperbanyak bantuan ke ITB urusan katalis ini,” kata Presiden.
Subagjo menyatakan, untuk mendukung dan melanjutkan risetnya, diperlukan pabrik katalis yang dibangun di dalam negeri. Dengan adanya pabrik tersebut, ia bersama timnya akan lebih leluasa mengembangkan risetnya sehingga akan benar-benar bermanfaat bagi kebutuhan industri dalam negeri.
“Sangat penting sekali dalam membangun pabrik katalis. Sejak dua tahun saya sudah menginginkan ada pabrik katalis sehingga resep-resep katalis yang kami kembangkan itu tidak akan lepas ke luar negeri,” jelas Subagjo.
Presiden Jokowi lantas mengatakan Pertamina dalam beroperasinya membutuhkan kurang lebih 50 katalis yang hanya 3 di antaranya yang mampu diproduksi sendiri. Berdasar fakta tersebut, riset yang dilakukan Subagjo dan timnya menjadi sangat relevan dan akan segera ditindaklanjuti olehnya melalui rapat terbatas khusus bersama jajaran terkait.
Presiden Jokowi berharap agar dengan hasil riset dan pembangunan industri katalis tersebut di masa mendatang akan diperoleh efisiensi, utamanya melalui kebijakan B20 dan seterusnya dengan menggunakan bahan dan proses yang sepenuhnya dilakukan di dalam negeri.
“Upaya-upaya anak bangsa seperti ini harus didukung penuh, tidak boleh dihambat. BUMN seperti Pertamina harus lebih berperan besar untuk mendukung pengembangan industri katalis. Badan Pengelola Dana Sawit juga harus aktif mendukung riset-riset yang sangat berdampak besar seperti ini,” tegas Presiden. (net)