Memiliki pemandangan alam yang indah sepanjang mata memandang rupanya menjadi nilai lebih bagi kawasan wisata perkebunan teh di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat.
Hamparan hijau kebun teh nan indah siap memanjakan mata siapa saja yang berkunjung di kawasan ini.
Pengalaman itu pula yang dirasakan anggota Komisi III DPRD Provinsi Jawa Barat Asep Arwin Kotsara saat melakukan kunjungan kerja bersama anggota dewan lainnya ke Tirta Camellia di Banjarsari, Kecamatan Pangalengan, Bandung, Jawa Barat, Kamis (18/2/2021).
Asep bahkan menilai, keindahan hamparan kebun teh yang satu ini lebih indah dari pada pemandangan yang ada di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Menurut politisi PKS ini, kawasan tersebut direncanakan dibangun menjadi kawasan wisata alam yang dikelola oleh PT Jaswita Jabar dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII selaku pengelola perkebunan teh yang ada di kawasan tersebut.
Perencanaan pembangunan ini dikatakan Asep sebagai tindak lanjut dari hasil penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Jaswita Jabar atas nama Pemerintah Provinsi Jabar dengan pihak PTPN VIII dalam acara West Java Investment pada November 2020 lalu.
MoU tersebut menyatakan pengelolaan aset-aset di wilayah Jabar yang akan dilakukan pihak PTPN VIII.
“Area kebun teh ini luasnya 12.000 hektar, di mana 11,6 hektar diantaranya akan dibangun menjadi tempat wisata. Sejauh ini baru 1,5 hektar yang sudah dibangun oleh PTPN VIII,” kata Asep kepada Warta Kota melalui sambungan telepon, Jumat (19/2/2021).
Dari 1,5 hektar tersebut, lanjut Asep, berdiri sebuah tempat wisata berupa pemandian air panas bernama Tirta Camellia.
Nama Camellia sendiri diambil dari nama latin pohon teh yakni Camellia Sinensis.
Pemandian air panas ini berasal dari sumber air panas yang diakui Asep berbeda dengan pemandian air panas Ciater, Jawa Barat.
“Kalau yang diciater kan bau belerang ya kalau ini sama sekali ngga, sumbernya sangat natural sama seperti yang ada di pemandian air panas Gunung Pancar (Bogor), airnya bening dan tidak berbau,” ujarnya.
Selain pemandian air panas, legislator daerah pemilihan (Dapil) Bekasi-Depok ini juga mengatakan di area 11,6 hektar yang direncanakan tersebut juga akan dibangun tempat wisata seperti outbond dan penginapan.
“Kurang lebih investasinya sekitar Rp 30 miliar tapi bentuk kerjasamanya seperti apa, belum tahu karena perjanjian kerjasamanya juga belum ada,”
“Sebab nantinya PT Jaswita dan PTPN VIII akan mencari investor dari luar dalam membangun wisata di lokasi itu, saat ini sedang proses seleksi (investor),” katanya.
Proses seleksi ini dikatakam Asep sejenis kontestasi dari beragam investor yang berminat membangun kawasan wisata di perkebunan yang berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut itu.
Saat ini, sudah hanyak investor yang mengaku berminat untuk melakukan kerjasama.
Hanya saja, PT Jaswita Jabar dan PTPN VIII masih melakukan seleksi, investor mana kah yang memiliki presentasi paling indah yang sesuai dengan keinginan PT Jaswita Jabar dan PTPN VIII.
“Sudah banyak sekali yang minat untuk menanam saham, jadi ini semacam beauty contest, siapa yang paling indah presentasinya maka iyu yang akan di pilih. Sejauh ini belum ada keputusan,” akunya.
Dengan fakta ini, Asep mengaku pihaknya belum bisa memberikan masukan untuk kebaikan dari lokasi itu sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi Pemprov Jabar.
Namun demikian, Asep dan legislator di Komisi III lainnya sempat menyampaikan keluhannya terkait akses jalan menuju lokasi perkebunan Camelli yang dilihatnya masih rusak.
“Konon dari dana Rp 30 miliar itu, salah satunya digunakan untuk akses jalan masuk menuju lokasi. Kalau akses jalannya bagus tentu akan mengundang banyak wisatawan yang datang, sehingga diharapkan dapat membawa devisa yang besar bagi Pemprov Jabar,” ujarnya.
Sekarang ini, kawasan perkebunan teh itu ditanami oleh pohon teh yang hasil dan rasanya dikatakan Asep menjadi yang terbaik di Indonesia.
Dalam satu tahun, perkebunan teh Pangalengan itu mampu memroduksi teh kering sebanyak 25 juta kilogram pertahun.
Untuk satu hektar kebun teh tersebut mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp Rp 10 juta rupiah pertahunnya.
Hal ini dikatakan Asep berbeda dengan produksi teh kering yang ada di daerah Subang yang hanya mampu memberikan keuntungan Rp 1 juta pertahun untuk satu hektarnya.
“Jadi, keuntungan yang didapat bisa 10 kali lipat bedanya dan kualitasnya pun beda dengan yang ada di wilayah lain di Indonesia. Ini the best di Indonesia karena juga ada di ketinggian 2.400 meter di atas laut,” ungkapnya.
Dari 25 juta kilogram teh kering tersebut, Asep mengatakan sebanyak 70 persen hasil produksinya dikirim atau di ekspor ke luar negeri, 30 persen lainnya untuk lokal.
“Namun pada saat pandemi Covid-19 ini justru kebalikan, 30 persennya di ekspor sementara 70 persennya lagi untuk lokal. Pada saat kunjungan kemarin pun disa.paikan masih numpuk stok teh karena ngga bisa di ekspor ke luar negeri,” cetusnya.
Dari 12.000 hektare tersebut, Asep mengatakan terdapat 8.600 orang pekerja yang mengurusi kenun teh, mulai dari petani pemetik pohon teh hingga ke bagian produksi.
“Dari 8.600 itu mereka sudah berkeluarga semua dan menghidupi 25.000 orang,” jelasnya. (*/Deden .GP)