KAB BANDUNG, BIPOL.CO — Sejumlah pedagang Pasar Pangalengan bersama LSM Lembaga Anti Korupsi Indonesia (LAKRI) Jawa Barat melakukan audiensi dengan Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Kamis (21/7/2022).
Mereka malakukan mediasi terkait permasalahan pembangunan pasar wisata milik desa tersebut yangvselzma ini fikekuhkan para pedagang.
Mereka diterima Ketua Komisi B Praniko Imam Sagita, dan sejumlah anggota Komisi B. Hadir pula Sekretatis Koperasi dan UKM Kabupaten Bandung H Perdana, Camat Pangalengan Ramdhan, Kades Pangalengan, Ketua Bumdes, Koperasi Pasar Pangalengan, Kapolsek dan Danramil Pangalengan, serta pengembang.
Ketua LAKRI Jawa Barat, Ahmad Suhendar yang mewakili para pedagang menyampaikan sejumlah persoalan yang dihadapi para pedagang terkait pembangunan Pasar Wisata Pangalengan yang saat ini tengah dibangun.
Inti permaslahan, kata Ahmad, pertama pedagabg merasa keberatan atas pembangunan pasar yang mangkrak, kemudian masalah harga dan penempatan kios yang semula pedagang punya kios menjadi tidak punya.
“Kami bukan ingin menjegal pembangunan pasar, tapi kami mendorong bagaimana supaya cepat selesai. Jadi jangan sampai pedagang terkatung-katung seperti ketika di TPS sehingga begitu databg hujan terjadi banjir,” kata Ahmad Sehendar, usai mediasi.
Itu, kata Ahmad Suhendar, yang jadi pertimbangan audiensi, karena pada awal pembangunan makrak sekian tahun. “Dan kami dorong sehingga sekarang kembali berjalan,” papar Ahmad.
Terkait kesepakan harga kios dan los yang berubah dari semula Rp 11 juta menjadi Rp 20 juta hingga Rp 22 juta. Hal itu, kata dia, yang membuat para pedagang Pasar Pangalengan merasa keberatan, karena perubahan harga tersebut tidak ada sosialisasi dari pihak pengelola pembangunan atau pengembang.
Kemudian soal proses pembayaran kios yabgvdiguring ke bank oleh pengembang dan pihak Bumdes, dia mengatakan, pihaknpengepolantidak mampu mandiri dan tidak memanfaatkan koperasi pasar.
“Kami menyimak kalau pun pedagang digiring ke bank apakah pihak pengelola tidak mampu berdiri sendiri sehingga diarahkan ke bank, padahal ada koperasi pasar, kenapa tidak memanfaatkan koperasi,” kata Ahmad, saat beraudiensi.
Kemudian, kata dia, masalah pembangunan kios dan los, seperti dalam percakapan akan selesai akhir Juni 2022 dan siap ditempati, namun ternyata saat ini belum selesai.
“Namun dengan adanya audiensi ini, mudah-mudahan saja keluhan para pedagang bisa didengar dan ada solusinya, meski dari hasil audiensi ini kami belum merasa puas,” ucap Ahmad.
Ketua Koperasi Pasar Pangalengan Aep Saefudin, mengaku merasa prihatin atas keluh kesah para pedagang terkait pembangunan pasar tersebut.
“Koperasi Pasar ini bediri sejak 1995, kami utusan pedagang, kami paham ini program pemerintah, tapi kami merasa heran melihat kok bisa sertamerta, masyarakat merasa prihatin. Ada UKM ada koperasi ada peluang, kenapa dalam permasalahan keuangan (pembayaran kios/los melalui bank) tidak dikordinasikan sehingga kami dianggap tidak ada, ada apa?” ucap dia.
Kepala Desa Pangelengan, Agus S, dalam kesempatan itu mengatakan, kaitan pembangunan pasar pihaknya berniat baik dan hanya memfasilitasi antara pengembang dan pedagang. “Jadi tidak ada pemaksaan, saya tidak pernah mengarahkan para pedagang khususnya soal pembayar melalui bank,” katanya.
Ketua Bumdes Desa Pengalengan Yadi Supriadi mengatakan, di Pasar Pangalengan ada sekitar 1.056 kios, dan pengembang akan membangun 1.096 kios. Ada sekitar 40 kios yang tidak terakomodir. Prosesnya, pedagang eksisting sebanyak 484 pedagang wajib mendapat hak, 41 lapak pengamen dan sebayak 427 kios untuk pedagng non eksisting atau dikenal pasar dengdek.
“Kita melakukan filter, sehingga pedagang eksisting tidak bisa dipindahtangankan. Ada 1.939 pedagang yang akan difilter, dan ada lebih dari seratus pedagangang non eksisting,” katanya.
Kaitan pedagang digiring untuk melakukan pembayaran kredit kios/los melalui bank, menurut Yadi, pedagang lebih diuntungkan, karena tidak perlu ada anggunan. “Kita mempermudah dengan KUR BRI, kita upayakan tidak ada sita menyita. Kredit KUR dengan bunga 6 persen per tahun. Adapun yang terjadi di lapangan itu miskomonikasi. Silahkan tidak memaksa, kalau persyaratan sudah masuk berarti sudah diakomodir,” katanya.
Sementara salah seorang pedagang mengaku merasa keberatan mengenai perubahan harga yang dulu Rp 11 juta, sekarang menjadi Rp 22 juta. Perubahan harga tersebut, diakuinya, tidak melalui musyawarah dengan pedagang. “Saya merasa kebertan dengan harga sebesar Rp 22 juta, dasarnya apa?” ujar dia.
Kaitan perubahan harga kios.dan los, Ketua Bumdes mengaku, tidak ada kenaikan seperser pun. “Adapun pedagang merasa keberatan saya sudah sampaikan saat sosialisasi sesuai kesepakatan tahun 2018. Yaitu sebesar Rp 11 juta itu untuk harga kios bagi pedagang eksisting, dan harga sebesar Rp 20 juta sampai Rp 22 juta bagi non eksisting.(deddy)