Simposium “Dilema Tema Umum Selatan” diramaikan oleh pegiat sastra dari Indonesia, Botswana dan Singapura.
JILF dalam keterangan resmi, Minggu, mengatakan Intan Paramaditha dari Indonesia bicara tentang kesenjangan suara dan keterwakilan dalam konstelasi sastra dan perbukuan dunia masa kini.
Sementara Legodile Seganabeng sebagai pengarang di Botswana mengungkapkan tradisi penerbitan di negaranya yang belum berkembang hingga pengarang kerap harus mengorbankan kreativitas dan orisinalitas agar karyanya terbit.
Tema yang diangkat sering mempertimbangkan apa yang menarik buat orang luar Botswana, bukan yang ingin dibicarakan masyarakat setempat.
Sementara Sherlene Teo, pengarang novel “Ponti”, bicara tentang identitas kerap jadi beban berkreasi. Sebagai warga kelahiran Asia Tenggara yang tinggal belasan tahun di Inggris, dia menghadapi asumsi dan ekspektasi tertentu.
Ada pula perbincangan bersama Hilmar Farid (Indonesia), Ramon Guillermo (Filipina), dan Adania Shibili (Palestina) yang menjelajahi topik kanon Selatan.
Adania Shibili membuat audiens tertegun dengan presentasinya tentang bagaimana penjajahan Israel atas Palestina juga mencakup penyitaan dan penghapusan karya-karya sastra Palestina, lewat proyek-proyek National Library of Israel.
Tidak hanya itu, Sastra Boga juga dibahas di sini bersama sejarawan budaya Timbul Haryono dan penulis sejarah boga Fadly Rahman. Mereka mengajak hadirin menelusuri makanan lewat literatur, khususnya catatan para sejarawan dan pengelana zaman dulu.
Diawali dengan cerita keduanya tentang asal kata “boga” dan “kuliner”, pembicaraan segera berkembang ke berbagai pengaruh luar hari ini dalam masakan nusantara, misalnya vrijkadel, yang dalam masyarakat Belanda terbuat dari daging babi, tapi di Indonesia menjadi perkedel yang terbuat dari macam-macam bahan.
Selain perubahan pada bahan, fungsi makanan pun dalam masyarakat kita akhirnya juga beralih. Timbul Haryono mengungkapkan fungsi sehari- hari, fungsi sosial, dan fungsi ritual dalam masyarakat zaman dahulu yang kini sudah tidak lagi berlaku.
Lewat perbincangan ini, terkuak pula berbagai kreativitas, kebijaksanaan, dan kekayaan nusantara yang tersimpan dalam masakan. Misalnya, bagaimana masyarakat konon mengatasi minimnya jumlah daging yang terjangkau pada masa penjajahan dengan berkreasi menggunakan kaki sapi, kepala kambing, jeroan, dan sebagainya.
JILF 2019 dikuratori oleh Yusi Avianto Pareanom, Isyana Artharini, dan Eka Kurniawan dengan mengusung tema “PAGAR” untuk mencerminkan batasan-batasan yang semakin lebur akibat arus globalisasi yang menerpa dunia. (ant)