“Penyelesaian masalah itu harus berakar dari pemahaman masalah secara utuh, tidak bisa generalisir. Pertimbangan keamanan semata tidak cukup menjadi faktor pembenar untuk melakukan apa saja, harus ada koridornya,” ujar Asrorun ketika dihubungi di Jakarta, pada Jumat (1/11).
Menurut dia, maksud baik harus dilakukan dengan cara yang baik juga dan dia sendiri dapat memahami spirit dari wacana yang disampaikan oleh Menag Fachrul.
Harus dilakukan penguraian masalah sebelum melakukan penanganan agar tepat sasaran jangan hanya sekedar penyederhanaan masalah, ujar Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia itu.
Bisa saja, kata dia, kasus radikalisme terjadi karena kesalahan cara pandang agama, ada kalanya juga karena faktor ekonomi dan faktor politik, jadi tidak bisa menyederhanakan permasalahan hanya dengan pelarangan cadar atau menggunakan celana cingkrang.
Penggunaan burka, cadar atau celana cingkrang adalah persoalan aksesori yang tidak bisa distigmakan dan diasosiasikan sebagai terorisme atau radikalisme apalagi karena ketiga hal tersebut memiliki basis keagamaan.
Langkah tersebut diambil atas dasar keamanan setelah terjadi penusukan mantan Menkopolhukam Wiranto, kata Menag Fachrul.
Rencana itu sendiri masih dalam tahap kajian, tapi dapat diajukan oleh Kementerian Agama karena alasan keamanan tersebut.
Menanggapi alasan itu, Asrorun mengatakan bahwa idealnya dalam penanganan terorisme dan radikalisme, Kementerian Agama bisa menggunakan pendekatan religius dibandingkan alasan keamanan.
“Karena kementerian keagamaan, idealnya penanganan terorisme dan radikalisme adalah dengan pendekatan keagamaan, religious approach. Kalau security approach itu bagian dari petugas keamanan,” tegas pria yang juga menjadi dosen pascasarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu. (ant)