“Yang menjadi tantangan kita sekarang itu juga isu khilafah, karena dikaitkan pemahaman bahwa khilafah itu adalah identik dengan Islam. Khilafah itu Islami, tapi tidak berarti Islami adalah khilafah,” kata Wapres saat menyampaikan pidato kunci pada Seminar Sekolah Peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Kepolisian Indonesia Pendidikan Reguler ke-28 Tahun 2019 di The Dharmawangsa, Jakarta, Jumat (8/11).
Ia menjelaskan bahwa sistem kepemimpinan khilafah tidak bisa diterapkan di suatu negara yang sudah memiliki kesepakatan bentuk pemerintahan.
Meskipun bersifat Islami, sistem kepemimpinan khilafah tidak akan bisa diterima di Indonesia karena sudah ada kesepakatan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati, jelasnya.
“Jadi khilafah itu tertolak di Indonesia, memang tidak bisa masuk. Bukan karena (khilafah) itu islami atau tidak islami, tetapi karena itu menyalahi kesepakatan nasional. Kita, Indonesia, itu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau itu jadi khilafah, maka tidak jadi NKRI, tapi Negara Kesatuan Khilafah Indonesia,” katanya.
Ia melanjutkan, khilafah juga tidak bisa asal diterapkan di negara-negara Islam, di antaranya Arab Saudi, Yordania, Kuwait, dan Qatar, karena negara-negara tersebut juga telah memiliki kesepakatan nasional yakni menerapkan negara republik.
“Bagi umat Islam, kesepakatan itu harus dihormati. Jadi akan sama saja, membawa khilafah di Saudi Arab pasti akan juga tertolak karena di sana sistem yang disepakati adalah sistem kerajaan,” katanya.
Oleh karena itu, kelompok-kelompok yang menyerukan penerapan sistem kepemimpinan khilafah tidak perlu memaksakan kehendak agar sistem tersebut berlaku di Indonesia. Secara otomatis, khilafah akan tertolak karena sudah ada kesepakatan sistem pemerintahan republik.
“Jadi sebenarnya tidak perlu ‘metenteng-metenteng‘ (ngotot) begitu seperti perang Bharatayudha. Secara proporsional saja sudah jelas bahwa khilafah tertolak di Indonesia, karena kita Indonesia, NKRI,” ujarnya. (ant)