BANDUNG, bipol.co – Guru Besar dan Dosen di Universitas Indonesia (UI), Prof. Effendi Gazali, PhD., MPS., ID., secara terus terang mengagumi Prof. H. Obsatar Sinaga, Rektor Universitas Widyatama Kota Bandung.
Hal itu ia sampaikan langsung saat menyampaikan orasi ilmiah di hadapan ribuan wisudawan/ti Universitas Widyatama Gelombang I, tahun akademik 2019-2020, Rabu (6/11/2019).
Kekaguman pakar komunikasi politik ini, memiliki alasan tersendiri.
Menurut Visiting Professor, Jeju National University, Korea ini, Universitas Widyatama sangat beruntung dipimpin oleh Prof. Obi, karena Prof. Obi sesungguhnya layak menjadi rektor dari universitas maju di mancanegara sekalipun.
“Selain kemampuan akademis, dia memiliki kepemimpinan yang telah teruji di berbagai medan pengabdian. Dia sangat profesional dan senantiasa melakukan update keahliannya sesuai dengan standard asosiasi profesi serta jurnal ilmiah prestisius di dunia,” ungkap Ketua Salemba School, Institute for Media & Political Literacy ini
Diakui Prof. Effendi, dalam kajian-kajian ilmu mutakhir serta bersama-sama bekerja untuk melakukan terobosan guna kemajuan Indonesia, hubungan dia dengan Prof. Obi sangat dekat. Sangat sering bertukar pikiran melalui aneka media komunikasi.
“Hal menarik dari sosok Prof. Obi, dia muda, gemilang, tidak pernah kehilangan optimisme. Hal terpenting, saya rasa Prof. Obi merupakan sedikit dari guru besar di dunia, yang berprinsip: Senang melihat orang lain, termasuk kolega dan mahasiswanya, bahagia!” paparnya.
Kendati demikian, penerima ICA Award, Instructional & Development Division, pada ICA Annual Meeting, New Orleans (2004) ini, mengaku pernah berselisih pendapat dengan Prof. Obi.
“Saya sangat merasa dia terdzolimi oleh beberapa intrik politik yang dimainkan oleh orang-orang tertentu dalam proses pemilihan rektor di sebuah universitas sebelumnya. Kasus ini sebetulnya banyak yang tahu. Prof. Obi memilih berusaha berjuang dengan tenang dan penuh keikhlasan,” ungkap Prof. Effendi.
“Sementara saya, mungkin karena jauh lebih lama berjuang bersama teman-teman aktifis di lapangan maupun di jalan, meminta Prof. Obi melawan dengan lebih keras dan berisik. Menurut hemat saya, kampus adalah tembok moral terakhir, yang seharusnya tidak pernah boleh mundur sedikitpun ketika dirusak oleh anasir politik kepentingan sekelompok orang,” lanjutnya.
Pengalaman Prof.Effendi, jika berjuang seperti gaya Prof. Obi, secara umum akan kalah.
“Betul saja, Prof. Obi pun kalah. Angkara masih menang, dan kampus tertentu, seperti pasrah menerimanya!” tegas mantan Koordinator Program Magister Komunikasi Politik UI ini.
Meski demikian, diakui Prof. Effendi, dia dengan Prof. Obi sama-sama ikhlas.
“Anda tahu sendiri bagaimana saya pun menjadi Guru Besar di Korea dulu tahun 2013, baru kemudian di Indonesia!” tuturnya.
Anggota International Communication Association (ICA) ini mengakui, terobosan-terobosan Prof. Obi sudah amat menggembirakan. Tinggal menjalin kerja sama yang lebih membuka peluang kolaborasi praktik bagi mahasiswa di era disruption ini.
“Saya misalnya, tetap mendorong mahasiswa saya melakukan kontak dan kolaborasi dengan mahasiswa dari sesama guru besar di Cornell University, New York, USA, maupun di Jeju National University, Korea,” pungkasnya.**
Editor: Hariyawan