JAKARTA,bipol.co – Wakil Ketua Fraksi PPP MPR RI Syaifullah Tamliha mengingatkan kepada masyarakat dan elite politik, jangan menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) dalam kontestasi Pemilu di Indonesia.
Meskipun dia tidak memungkiri bahwa isu SARA selalu ada dalam momentum politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia seperti Pilkada dan Pemilu lima tahunan.
“Jadi ini perlu pemikiran bersama bagaimana agar isu SARA tidak ada di Pilkada dan Pilpres,” kata Tamliha dalam diskusi bertajuk “Isu SARA dalam Pilpres Hancurkan Kebhinekaan” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (1/3/2019).
Dia mengakui bahwa isu SARA masih menjadi komoditas politik di setiap Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg), bahkan masih terjadi di Amerika Serikat sebagai “guru” demokrasi.
Tamliha mengatakan, Indonesia sebagai negara yang multi-etnis, multi-agama dan aliran sangat rawan terjadi perpecahan yang bisa berakibat adu fisik.
“Misalnya, antara kader Muhammdiyah dan Nahdlatul Ulama yang merasa paling baik, namun saya melihat keduanya sama-sama demokratis,” ujarnya.
Tamliha menilai isu-isu agama bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara terutama aliran agama, yang dahulu sudah tidak ada, namun saat ini berkembang lagi, mempersempit diri.
Dia mencatat, calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo tidak kurang dari 10 kali berpidato dihadapan tokoh struktural NU, terakhir di Banjar, Jawa Barat dalam Munas Alim Ulama.
“Sementara orang NU sekarang sudah memilih bukan karena strukturalnya,” katanya.
Menurut dia, di Indonesia ini bukan perbedaan agama tapi perbedaan aliran agama, misalnya, seolah-olah Jokowi dan Ma’ruf Amin adalah orang NU dan Prabowo-Sandiaga itu Muhammadiyah, itu yang terlihat di media sosial.
Selain itu menurut dia, Ketua umum PBNU Said Aqil Siradj secara tidak langsung terlibat dalam pertarungan pilpres dan bahkan memberikan sesuatu yang bersyarat kalau tidak Ma’ruf Amin, NU tidak akan mendukung Jokowi, itu aliran bukan agamanya.
“Sementara Muhammadiyah didukung Amien Rais, walaupun Ketua Umum Muhammadiyah tidak terang-terangan mendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Jadi politik aliran dan aliran agama yang paling berpengaruh dalam pilpres tahun 2019,” tuturnya.
Dalam diskusi tersebut, Direktur Riset The Indonesia Institute, Yossa Nainggolan menilai isu SARA sudah sejak lama digunakan dalam politik Indonesia dan terus dikapitalisasi untuk kepentingan politik.
Menurut dia, isu SARA mengena di masyarakat karena ada masalah dalam kurikulum pendidikan di Indonesia sehingga para anak bangsa belum bisa memahami perbedaan.
“Kenapa isu SARA muncul dan semakin tajam karena dimanfaatkan kedua pasangan calon. Di dalamnya ada tindakan diskriminasi, kekerasan dan penganiayaan,” ucapnya.[ant]