Hal tersebut disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) secara virtual bersama Komisi X DPR RI dan pakar olahraga di Jakarta, Senin (13/7).
Susi menyoroti bahwa UU No.3/2005 belum membahas terkait kejelasan masa depan atlet. Pun demikian dengan jaminan soal gaji/honor, penghargaan, pemotongan pajak, jaminan kesehatan, pensiun/jaminan hari tua.
“Kami mantan atlet hanya mendapat penghargaan ketika juara. Namun, ketika pertandingan selesai, kami bukan siapa-siapa,”
“Kepastian jaminan masa tua atlet sangat penting terutama bagi para orang tua yang anaknya ingin menjadi atlet,” ujar Susi yang saat ini menjabat Kepala Bidang Prestasi dan Pembinaan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Mantan kapten timnas sepak bola Indonesia itu menambahkan bahwa pengakuan profesi atlet profesional memang sudah diatur dalam Pasal 55 UU SKN, tapi dalam praktiknya, status profesi atlet masih belum dianggap seperti yang tertuang dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Padahal jika ada undang-undangnya, Bambang menilai bahwa hal itu akan sangat membantu atlet untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum dalam menjalani profesi tersebut, terutama saat terjadi konflik antara atlet dengan klub atau federasinya.
“Bila ada sengketa, maka tidak bisa dibawa ke ranah hukum ketenagakerjaan karena pekerjaan sebagai atlet profesional belum ada dalam undang-undang,” tuturnya.
Saat ini Komisi X memang sudah mengagendakan revisi UU SKN yang telah diundangkan sejak 2005 itu. Revisi tersebut akan dilakukan melalui Panja RUU SKN.
Sebelumnya, proses revisi UU SKN juga telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020. (net)