JAKARTA.bipol.co – Pemerintah Republik Indonesia perlu melaksanakan kebijakan terkait transisi energi, terutama yang terkait dengan batu bara, secara berkelanjutan karena komoditas itu sangat diandalkan di sejumlah provinsi di Nusantara.
“Yang menjadi pertanyaan, kalau ingin transisi berkeadilan, apa sih yang harus diantisipasi dan dilakukan,” kata Direktur Institute for Essential Serices Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam seminar bertajuk “Transisi Energi Global dan Masa Depan Batubara di Indonesia” yang digelar di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Menurut dia, salah satu faktor yang perlu diperhatikan antara lain adalah produksi batu bara yang meningkat cukup signifikan di tataran global sehingga menyebabkan tekanan internasional agar Indonesia mengekspor batu bara.
Apalagi, ia mengingatkan bahwa Indonesia sejak 2017 menjadi negara pengekspor terbesar di dunia, melampaui Australia yang sebelumnya dikenal sebagai negara pengekspor terbesar komoditas batu bara tersebut.
Febby juga mengingatkan bahwa penggunaan batu bara masih dominan dan dipakai di 78 negara di dunia serta menghasilkan 40 persen dari seluruh listrik dunia.
Namun, lanjutnya, perlu diperhatikan bahwa di sejumlah negara terdapat kebijakan dan rencana untuk mengurangi bahkan menghilangkan PLTU batu bara. Dari 78 negara, ada sekitar 30 negara yang berencana menutup PLTU Batubara sebelum 2030 atau tidak lagi membangun PLTU batu bara yang baru.
Di dalam negeri, ujar dia, semakin hari batu bara juga menjadi komoditas andalan yang dinilai hampir sama seperti sawit. “Kebutuhan di dalam negeri juga memiliki dinamikanya sendiri,” ucapnya.
Konsumsi listrik Indonesia meningkat sekitar 26 persen pada empat tahun terakhir, dari 812 kWh per kapita pada 2014 menjadi 1.021 kWh per kapita pada 2017.
Lebih dari 88 persen listrik yang dihasilkan, berasal sekitar 60 persen dari batu bara, 22 persen dari gas alam, dan 6 persen dari minyak, serta hanya 12 persen yang dihasilkan dari energi terbarukan.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN terbaru yang diterbitkan pada Februari 2019, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik diperkirakan meningkat dari 90 juta ton/tahun pada saat ini menjadi sekitar 150-160 juta ton pada tahun 2028-2030.
Selama empat tahun terakhir pula, pendapatan batu bara yang diterima mencapai rata-rata sekitar Rp31 triliun/tahun atau mencapai rata-rata mendekati 80 persen dari total pendapatan non-minyak dan gas bumi, tetapi kontribusi pendapatan batu bara untuk anggaran negara hanya sekitar 1,5 – 2 persen dari total pendapatan negara. (ant)
Editor Deden .GP