BANDUNG, bipol.co – Dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.
Di Jawa Barat sendiri, dari 8 kabupaten/kota yang akan mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, ada kemungkinan besar untuk terjadinya politik dinasti. Hal ini dimungkinkan, karena Jabar punya tingkat toleransi yang tinggi untuk politik dinasti dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Padahal, biasanya ini adalah usaha untuk melanggengkan kekuasaan dari pendahulunya.
Dalam amatan Analis Sosial Politik EDAS yang juga dosen Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Cimahi, DR. Wawan Gunawan, hal jamak soal dinasti petahana di mana pun. Ada di USA, di India, di China, termasuk di Indonesia.
“Tidak masalah selama kompetensi, kapasitas, kapabilitas, integritas, dan kehendak rakyat sebagai pemilih menginginkan itu. Jadi persoalan, jika penguasa yang bertahta menggunakan kewenanganya untuk menggerakan sumberdaya dan sumberdana yang melekat pada jabatanya untuk kepentingan pemenangan calon dari keluarganya,” tanggap Wagoen, sapaan akrabnya, yang meraih gelar doktornya lewat disertasi “Etika Pemerintah dalam Pemilukada”, saat dihubungi bipol.co via telepon seluler, Sabtu malam (6/7/2019).
Diakui kolumnis di berbagai media ini, keluarga petahana tetap punya hak untuk mencalonkan dan dicalonkan dan rakyat berhak memilih siapa pun calon.
“Hal yang yang wajib diawasi adalah apakah ada abuse of power dari pejabat yang sedang berkuasa untuk berpihak pada calon dari pihak keluarganya. Dalam konsep etika pemerintahan, maka petahana harus bersikap netral. Nah bagaimana mengukur netralitas tersebut dan bagaimana mengawasinya, pers dan publik menjadi bagian yang harus mengawasi,” pungkasnya.**
Editor: Hariyawan