JAKARTA, bipol.co – Ketika Presiden Joko Widodo memulai masa pemerintahannya pada 20 Oktober 2014 berbagai masalah yang menanti untuk dibenahi sudah mengantre. Namun tak seperti para pendahulunya, Jokowi juga harus menangani maraknya kabar bohong atau hoaks.
Seiring dengan perkembangan teknologi digital dan juga semakin luasnya jaringan internet maka masyarakat menikmati kemudahan untuk mengakses dan mengirimkan informasi dari dan ke berbagai kanal percakapan yang ada di dunia maya.
Data yang dikeluarkan oleh Hootsuite, pada Januari 2018 dari 265,4 juta penduduk Indonesia, 132,7 juta di antaranya merupakan pengguna layanan internet. Dari jumlah itu, 130 juta di antaranya merupakan pengguna aktif media sosial.
Pengguna layanan internet dengan gawai pada Januari 2018 di Indonesia tercatat 177,9 juta orang dan 120 juta di antaranya aktif di media sosial dan mengaksesnya melalui gawai atau telepon selular miliknya.
Data yang dikeluarkan oleh Hootsuite itu menunjukkan bagaimana peningkatan yang signifikan jumlah pengguna internet di Indonesia dan juga warganet yang aktif berinteraksi di media sosial. Seiring dengan kemudahan dan harga telepon selular yang semakin terjangkau, penggunaan gawai untuk mengakses internet dan aktif di media sosial juga meningkat.
Dengan perkembangan ini maka terjadi pergeseran bagaimana masyarakat menyikapi informasi yang bertebaran di sekitar mereka.
Sebelum maraknya penggunaan media sosial dan kemudahan akses intrnet, media massa dan wartawan menjadi sumber utama informasi masyarakat. Namun seiring dengan perubahan tadi, kini masyarakat juga menjadi sumber informasi bagi masyarakat lainnya bahkan di beberapa kasus juga sumber bagi media massa dan wartawan.
Sayangnya perkembangan ini tidak diikuti dengan pemahaman tentang bagaimana memperlakukan sebuah informasi yang didapat. Masalah seperti ini tidak akan dihadapi oleh wartawan karena mereka terbiasa untuk melakukan pengecekan data dan fakta sebelum kemudian mengolah informasi tersebut menjadi sebuah berita dan didistribusikan kepada khalayak ramai.
Dalam sejumlah kajian yang dilakukan, media sosial menjadi salah satu sarana untuk menyebarkan kabar bohong, selain saran-sarana komunikasi lainnya. Dan sayangnya kerap kali masyarakat begitu saja percaya atas sebuah informasi yang dilihat di media sosial miliknya.
Tak heran kemudian Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) merilis data mengenai jumlah kabar bohong yang marak beredar di media sosial dalam kurun waktu Agustus 2018 hingga April 2019.
Menurut Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu, dalam kurun waku tersebut tercatat 1,731 hoaks atau kabar bohong yang berhasil mereka temukan dilakukan tindakan.
Bahkan sepanjang April 2019 lalu saja, kata Ferdinandus Setu, jumlah hoaks atau kabar bohong tercatat 486 kabar bohong yang berhasil ditemukan. Sekitar 209 hoaks di antaranya adalah terkait dengan isu politik.
Isu politik di tahun politik 2019 memang menjadi bahasan yang menarik. Sebagaimana diuraikan oleh Ferdinandus Setu dalam sebuah kesempatan, dari kurun waktu Agustus 2018 hingga April 2019 jumlah hoaks kategori politik mencapai 620 hoaks, sementara kategori pemerintahan hanya 210 hoaks dan kategori kesehatan 200 hoaks.
Langkah Pemerintah
Presiden Joko Widodo menilai masalah penyebaran kabar bohong atau hoaks sebagai sesuatu yang memprihatinkan dan perlu penanganan yang serius agar tidak menyebar dan kemudian membuat suasana menjadi tidak stabil.
Dalam sebuah kesempatan saat membuka Kongres XXIV Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 28 September 2018, Presiden mengatakan kabar bohong menjadi masalah bersama sehingga perlu penanganan yang serius.
Menurut Presiden, penyebaran kabar-kabar itu cenderung dilakukan melalui media yang tidak terdaftar atau tidak jelas penanggung jawab dan alamatnya. Selain itu, ia juga mencatat informasi bohong itu juga kerap disebar secara berantai melalui media sosial maupun aplikasi sehingga bisa mempengaruhi persepsi massa bahwa informasi yang disampaikan berstatus benar.
“Tentu saja di balik penyebaran hoaks itu ada modus kepentingan-kepentingan tertentu, utamanya ini kepentingan politik yang sangat kuat untuk mempengaruhi persepsi pembaca sehingga sesuai dengan tujuan kepentingan itu, sesuai dengan kepentingan politiknya,” kata Presiden Joko Widodo saat itu.
Dalam banyak kasus memang kabar bohong memang digunakan untuk memancing emosi masyarakat agar terjadi kekacauan atau memicu keresahan.
Yang terbaru misalnya terkait dengan kerusuhan yang terjadi di Wamena, unggahan-unggahan informasi yang misalkan menggambarkan kondisi korban atau mereka yang meninggal seakan-akan berasal dari lokasi peristiwa akan dengan mudah ditemukan, meskipun saat ini belum ada penjelasan kronologis peristiwa dari masyarakat.
Atau juga dalam aksi unjuk rasa yang berujung pada bentrokan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan di Jakarta pada pertengahan September lalu, informasi tentang korban dan juga hal lainnya yang belum terkonfirmasi kebenarannya berseliweran di media sosial.
Mencegah lebih baik
Pemerintah melalui kementerian komunikasi dan informatika telah melakukan sejumlah langkah penanganan ketika kabar bohong tersebut telah tersebar.
Secara rutin pihak kementerian mengeluarkan laporan klarifikasi informasi atau artikel yang terindikasikan hoaks dan kemudian disebarkan kepada wartawan sebagai salah satu upaya diseminasi informasi sehingga masyarakat dapat segera mengetahui tingkat kebenaran informasi tersebut.
Namun upaya perbaikan dan klarifikasi kabar bohong saat hal itu sudah menjadi konsumsi informasi oleh masyarakat bukanlah hal yang mudah.
Ketika informasi tersebut sudah terlanjur beredar, seringkali beberapa saat kemudian informasi tersebut kembali bergulir, kali ini dengan jalur persebaran yang berbeda dengan persebaran informasi sebelumnya.
Langkah yang tepat dan efektif untuk mencegah peredaran kabar bohong antara lain memberikan pemahaman kepada masyarakat dan berbagai kalangan tentang bagaimana pola kerja media sosial dan bagaimana mengetahui sebuah informasi yang diterima adalah benar atau salah.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam sebuah kesempatan mengatakan pemerintah telah menempuh cara pencegahan salah satunya adalah dengan program melek teknologi digital.
“Sebetulnya dalam dunia digital bagaimana membuat masyarakat Indonesia pandai memilah dan memilih konten positif di media sosial penting. Pandai memanfaatkan alat untuk memberi nilai tambah,” kata Rudiantara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika, kata Rudiantara, melakukan literasi digital untuk masyarakat melalui berbagai program salah satunya melalui gerakan Siberkreasi yang merupakan gabungan dari komunitas dan individu.
Menurutnya, hasil penelitian Siberkreasi terhadap 2.000 orang di Bandung, Denpasar, Surabaya dan Pontianak pada September hingga November 2018 menunjukkan mayoritas responden belajar teknologi digital secara otodidak dengan persentasi lebih dari 55 persen di setiap kota yang diteliti.
“Bukan berarti yang sudah dilakukan salah tapi bagaimana supaya lebih efektif lagi,” katanya.
Menkominfo mengatakan literasi digital adalah salah satu cara yang paling baik agar masyarakat bisa memahami konsekuensi positif maupun negatif tentang internet dan teknologi.
Tapi cara tersebut memang memakan waktu dan anggaran yang tidak sedikit, namun bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan.
Bagi Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinet Kerja, penanganan informasi hoaks dan mendorong masyarakat agar melek media dan digital telah dilakukan.
Memang tak ada jalan yang lunak, namun upaya untuk menciptakan kondisi yang lebih baik telah dilakukan dan terus diupayakan hingga akhir masa jabatan pada 20 Oktober 2019 mendatang.* ant
Editor: Hariyawan