JAKARTA, bipol.co – Wakil Ketua DPR RI, Aziz Syamsuddin, menilai nilai-nilai yang ada dalam Sumpah Pemuda seperti persatuan dan kesatuan menjadi benteng bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi ancaman global.
“Mulai dari ancaman resesi ekonomi global, dinamika keamanan dunia yang terus bereskalasi, dan juga meluasnya demonstrasi massa yang menandai adanya krisis legitimasi di banyak negara,” kata Aziz dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.
Dia menilai ancaman global menjadi tantangan besar yang tidak mungkin dihadapi pemerintah sendiri, namun dengan menggabungkan seluruh komponen kekuatan politik di Tanah Air.
Aziz mengingatkan, Sumpah Pemuda diperingati bukan sebagai ajang seremoni namun sebagai pengingat bahwa nilai-nilainya harus terus dikontekstualisasi.
“Harapannya, apa yang ada dan sudah dicontohkan oleh para elit politik tersebut, bisa mengalir ke bawah agar kita siap menghadapi tantangan besar ke depan,” ujarnya.
Menurut dia, Sumpah Pemuda harus dijadikan momentum dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar terhindar dari segala ancaman global.
Hal itu karena Indonesia berdiri di atas landasan nilai, yang berfungsi sebagai pengikat segala macam perbedaan yang ada.
Azis mengenang, Prof. Sunario Sastrowardoyo sebagai salah satu penggagas Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyebut bahwa nilai persatuan dan kebangsaan Indonesia tidak dilatari oleh faktor kultural, ras, wilayah atau agama tertentu saja.
“Tapi justru kompleksitas perbedaan itu diletakkan di atas landasan perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan inilah yang mengikat semua jenis perbedaan yang sangat banyak di Indonesia,” katanya.
Dia menyesalkan beberapa tahun terakhir, bangsa Indonesia gagap mendefinisikan dinamika politik dalam konteks Pilpres karena banyak pihak mengartikan Pilpres tersebut sebagai perjuangan hidup-mati mempertahankan eksistensi kelompok.
Akibatnya, menurut dia, kekacauan makna pun terjadi, jargon-jargon “perang” justru muncul dalam konteks kondisi yang damai; konteks perjanjian dagang dan investasi antarnegara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks Pemilu diartikan sebagai revolusi.
Selain itu menurut dia akibat yang ditimbulkan adalah nilai persatuan bangsa Indonesia terguncang hebat, konteks bergerak liar dan nilai suatu pendapat ataupun tindakan digantungkan pada keberpihakan politik, bahkan yang paling mencemaskan dari semuanya adalah kaidah keilmuan pun dikebiri.
“Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik ataupun apresiasi dicurigai memiliki tendensi, dimasukkan dalam konteks politik dan pilpres yang bergerak demikian dinamis,” ujarnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu mengatakan, berkaca pada Sumpah Pemuda 91 tahun lalu yaitu bagaimana para pendiri bangsa ini sibuk mencari titik temu dan merumuskan persatuan di atas segala perbedaan dan ratusan alasan untuk bermusuhan.
Karena itu, menurut dia, apabila kita belum mampu merumuskan Sumpah Pemuda, setidaknya belajar memaknainya, atau sekurang-kurangnya berusaha menerimanya.* ant
Editor: Hariyawan