“Golkar mesti berhati-hati dan belajar dari pengalaman masa lalu. Apalagi, Golkar akan menghadapi pilkada pada 2020 di 270 daerah,” katanya, saat dihubungi Antara, di Jakarta, Selasa (26/11).
Menurut dia, dinamika yang terjadi sebenarnya lebih dikarenakan kepentingan untuk memperebutkan kekuasaan di internal partai.
Artinya, kata dia, sebetulnya tidak ada pandangan secara prinsip di antara kubu yang berdinamika dalam kaitan aspek ideologis dan relasi Golkar dengan pemerintahan.
“Jadi, alasan-alasan untuk melakukan pembelahan di tubuh Golkar menjadi tidak cukup rasional dan tidak cukup menguntungkan,” ujarnya.
Persoalannya akan menjadi berbeda, lanjut dia, jika satu kubu mendukung pemerintah, sementara kubu lain memilih beroposisi sehingga terjadi pertentangan ideologis.
“Tetapi, ini kan tidak dalam posisi diametral. Baik Airlangga maupun Bambang Soesatyo kan tidak dalam posisi pro atau tidak dengan pemerintah,” katanya.
Diakui Reza, riak-riak dan dinamika menjelang dan dalam perjalanan Munas Golkar pasti akan terjadi, apalagi untuk partai sebesar Golkar, sebagai peraih suara terbanyak kedua pada Pemilu 2019.
Namun, kata dia, dinamika tersebut akan mudah diatasi dan tidak akan sampai pada perpecahan sepanjang tidak ada perbedaan fatsun politik secara ideologis.
“Ya, kalau memang ada ‘gentlement agreement’ mestinya ditaati. Kalau tidak ada, ya, jalankan sesuai aturan main partai yang mampu mengakomodasi semua kepentingan,” kata Reza.
Partai Golkar akan melaksanakan munas pada 4-6 Desember 2019 yang salah satu agendanya adalah pemilihan Ketua Umum Partai Golkar periode 2019-2024.
Setidaknya ada lima nama yang akan bersaing sebagai calon ketua umum, yakni Airlangga Hartarto sebagai petahana, Bambang Soesatyo, Ridwan Hisjam dan Indra Bambang Utoyo, serta Agun Gunandjar Sudarsa.(ant)