“Kami jarang menemukan pria berjenggot, perempuan berhijab,” kata dia di Jakarta, Senin (16/12), ketika bercerita soal kunjungannya ke Xinjiang awal 2019 bersama perwakilan ormas Islam Indonesia beserta jurnalis.
Dia mengisahkan kunjungannya ke Xinjiang tersebut untuk melakukan klarifikasi tidak adanya suap dari China agar melunak soal Uighur. Klarifikasinya itu muncul beberapa waktu setelah The Wall Street Journal mengungkap dugaan gratifikasi China ke ormas Islam Indonesia, termasuk Muhammadiyah.
Muhyiddin menjelaskan mengapa klarifikasi soal Uighur baru disampaikan akhir tahun ini. Alasannya, dia tidak ingin mendahului Kementerian Luar Negeri soal hasil kunjungan delegasi ormas Islam dan jurnalis Indonesia ke Xinjiang.
Para delegasi, kata dia, sudah menyampaikan hasil kunjungannya tetapi Kemenlu belum menyampaikan ke publik soal hasil visitasi ke Xinjiang.
“Dalam pengamatan kami di Xinjiang, tidak ditemukan orang yang menggunakan jilbab, karena menggunakan jilbab di ruang terbuka di kawasan China dapat masuk kategori radikal,” kata dia.
Meski tidak banyak polisi, Muhyiddin mengatakan di Xinjiang banyak dipasang kamera pemantau (CCTV) untuk mengawasi gerak-gerik masyarakat Uighur.
Selain itu, kebijakan pembatasan akses internet di China mengharuskan penduduknya untuk menggunakan media perpesanan WE Chat yang dapat dimonitor oleh otoritas terkait.
“Warga menggunakan WE Chat sehingga komunikasi dengan sesama mereka, dengan luar itu otomatis terdeteksi, anda bicara ke mana, apa yang dibicarakan sudah terekam China,” katanya.
Soal masjid dan mushalla, Muhyiddin mengatakan di Xinjiang sedikit.
“Masjid itu ada, besar, tapi tidak ada mushalla. Di kawasan Kashgar, dulunya ada 150 masjid kecil-kecil kini disisakan satu masjid besar dan di situlah umat Islam melakukan ibadah, tapi itu hanya untuk mereka yang tidak bekerja aktif di kantor, yang sudah pensiun, yang kakek-kakek,” kata dia. (ant)