Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Dr. Pratama Persadha. (net)
“Menurut aturan ponsel yang diblokir adalah ponsel ilegal yang dipakai sejak 18 April 2020,” kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) Pratama Persadha menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Sabtu (25/1).
Akan tetapi, lanjut Pratama, saat cek sistem, IMEI ponsel ilegal yang beredar itu masih tidak dikenali sistem. Artinya, bila tetap begitu sampai 18 April mendatang, ponsel BM tidak berfungsi.
Bahkan, beberapa kali dicoba ponsel ilegal dicek IMEI di sistem Kementerian Perdagangan (Kemendag), masih muncul keterangan tidak terdaftar. Artinya, bila sampai 18 April 2020 IMEI ponsel ilegal masih belum dikenali sistem, siap-siap ponsel-ponsel serupa tidak akan berfungsi jaringan selulernya.
“Praktis bisa dipakai hanya dengan konektivitas wifi,” kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Pratama lantas melanjutkan, “Muncul pertanyaan bagaimana sistem IMEI (Identitas Peralatan Bergerak Internasional) mengenali mana yang dipakai sebelum 18 April?”
Bila hal itu terjadi, lanjut dia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kemendag harus bersiap menghadapi banyak pertanyaan dari publik.
Oleh karena itu, sebelum 18 April 2020, Kominfo dan Kemendag harus memastikan masyarakat tidak dirugikan dengan aturan ini.
Pratama juga berharap masyarakat tidak membeli ponsel nonresmi. Hal ini juga sudah diberlakukan oleh Kominfo dan Kemendag dengan tujuan memberi perlindungan kepada konsumen di Tanah Air.
Ia menyebutkan persentase pembelian HP BM baru maupun BM rekondisi, berdasarkan Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), tercatat sekitar 20 persen ponsel di Tanah Air adalah ilegal. Angka ini membuat negara rugi sampai Rp20 triliun.
Selama ini, kata Pratama, ponsel ilegal sangat laku di Tanah Air karena beberapa sebab, antara lain tidak semua merek dan tipe ponsel masuk resmi ke Indonesia sehingga ada permintaan yang tinggi dari masyarakat.
Kedua, lanjut Pratama, harga yang dianggap tinggi dibanding di luar negeri. Misalnya, produk iPhone, beda harga ponsel resmi dan ilegal kondisi baru bisa Rp3 juta sampai dengan Rp5 juta untuk jenis iPhone terbaru. Hal ini bisa dilihat di marketplace, perbandingan harga dan permintaan yang sangat tinggi dari masyarakat.
Namun, Pratama mengingatkan masyarakat bahwa ponsel ilegal (BM) ini sangat berbahaya. Hal ini mengingat mereka tidak tahu software yang ditanamkan apakah mengandung malware atau tidak.
“Layanan purnajual yang tidak ada jaminan sehingga tidak ada garansi apabila terjadi kerusakan,” kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini. (net)
Editor Deden .GP