JAKARTA.bipol.co – Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang menyoal pelaksanaan Pemilu serentak menyebabkan banyak petugas menjadi korban.
Hakim Konstitusi, Saldi Isra, dalam sidang pengucapan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (26/2), mengatakan, MK berpendirian pemisahan pemilu presiden-wakil presiden dengan pemilihan legislatif pusat bertentangan dengan UUD 1945.
“Mahkamah berpendirian bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum anggota legislatif yang konstitusional adalah yang dilaksanakan secara serentak,” tutur dia.
Meski pemohon memberikan bentangan empirik yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, Mahkamah Konstitusi menilai hal itu masih belum cukup dan persoalan pilkada serentak tidak sesederhana itu.
Catatan sekitar penyelenggaraan pemilihan umum serentak tetap mendapat perhatian khusus Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak cukup untuk mengubah pendirian lembaga yudikatif itu bahwa untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, pemilu presiden harus dilaksanakan serentak dengan pemilu legislatif.
Ada pun pemohon merupakan Pemantau Pemilu Arjuna, Pemantau Pemilu Pena serta warga negara Indonesia bernama Mar’atul Mukminah, Faesal Zuhri, Nurhadi, Sharon Clarins Herman dan Ronaldo Heinrich Herman.
Pemohon memandang penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 tidak memberikan perlindungan terhadap petugas KPPS yang memiliki beban kerja yang besar serta meminta pemilu tidak dilakukan secara serentak. (net)