JAKARTA, bipol.co – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, menyampaikan bahwa Pemerintah tidak mengambil langkah kebijakan dadakan atau “grusa-grusu” dalam menghadapi Covid-19, seperti dalam kebijakan larangan mudik yang ditempuh dengan pendekatan secara bertahap.
Dalam keterangan tertulis Tito yang disampaikan Staf Khusus (Stafsus) Mendagri, Kastorius Sinaga, di Jakarta, Rabu, menyatakan kebijakan larangan mudik dilakukan dengan pendekatan gradual atau bertahap.
Tahap pertama, yaitu tahap mengimbau ketika Pemerintah secara persuasif dan edukatif mengajak masyarakat untuk tidak mudik guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dari wilayah episentrum ke daerah.
Tahap yang dilakukan pada awal April tersebut, kata dia, sudah membuahkan hasil dengan penurunan drastis jumlah pemudik hingga 40 persen melalui gencarnya imbauan.
Pada tahap imbauan, digencarkan edukasi tentang model penularan Covid-19 berikut rentannya arus mudik menjadi arena penularan virus.
Kerja sama antarprovinsi untuk mengimbau warganya agar tidak pulang kampung juga difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri.
Baca juga: Mendagri minta daerah responsif soal anggaran tangani Covid-19.
Tito mengatakan kesadaran masyarakat dibangun bersama melalui kampanye edukatif tentang pengenalan Virus Corona, cara penyebaran, titik lemah virus, serta cara efektif pencegahannya seperti PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) dengan memakai masker, “hand sanitizer”, rajin mencuci tangan dan “physical distancing”.
Upaya tersebut dilakukan oleh Kemendagri dengan menggerakkan peran serta pemerintah daerah serta masyarakat, dan akhirnya sosialisasi itu berbuah positif pada perubahan pola perilaku masyarakat.
Menurut dia, setiap tahap dan langkah akan dievaluasi dan dimonitor secara terus-menerus dengan melihat kondisi dinamis masyarakat.
Apabila ada pendekatan yang kurang tepat, langsung diperbaiki. Demikianlah proses kebijakan publik melawan Covid-19 yang dilakukan Pemerintah, termasuk dalam merespons isu mudik.
Setelah masa tahap pertama, yaitu mengimbau untuk tidak mudik dirasakan sudah memadai, maka Pemerintah masuk ke langkah atau tahap kedua berikutnya, yaitu pelarangan mudik sebagaimana sudah ditetapkan lewat rapat terbatas bersama Presiden Jokowi yang berlaku mulai 24 April-7 Mei 2020.
Tindakan pelarangan mudik tidak ditempuh di awal, lanjut dia, karena tindakan atau kebijakan drastis yang langsung keras di awal yang memiliki efek sosiologis berskala besar, akan sulit diperbaiki bila terdapat kekurangsiapan dalam penerapannya di lapangan.
Apalagi, banyak aspek harus dipersiapkan, termasuk kecukupan dan kelancaran distribusi logistik, terutama kebutuhan pangan.
Ia mencontohkan di India, ketika pada awal bulan April 2020 India menetapkan “lockdown” secara tiba-tiba yang langsung diikuti dengan “law enforcement” dengan sanksi yang keras berujung memicu kerusuhan dan kekacauan di masyarakat.
Karena itu, kata dia, Pemerintah menempuh gaya kebijakan yang gradual namun berlanjut, dari bersifat persuasif ke arah yang semakin tegas, sebagaimana tampak pada kebijakan larangan mudik yang harus diperhitungkan dari berbagai aspek, termasuk “timing” dan kondisi sosiologis masyarakat.
Dengan cara gradual demikian, kata dia lagi, seluruh elemen masyarakat akan memiliki kesempatan untuk beradaptasi terhadap kebijakan itu, sehingga menghindari gejolak sosial akibat dampak kebijakan yang “grusa grusu”.
Presiden Jokowi bersama Kemendagri serta kementerian lain tampak solid, tenang, dan secara gradual solid menyatukan gerak pusat-daerah dalam menghadapi Covid-19, mulai dari isu penanganan kapasitas kesehatan, isu mudik, bansos, dan jaring pengaman sosial, hingga realokasi APBD dari 540 pemda untuk fokus menangani Covid-19.
Hasilnya, kata dia, mobilitas sumber daya nasional, termasuk kekuatan gotong royong masyarakat dapat dikerahkan secara solid untuk melawan Covid-19.*
Editor: Hariyawan