Lukman Edy dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (2/6), menilai normal baru menjadi salah satu jalan keluar untuk meminimalisasi kemungkinan kian terpuruknya perekonomian Indonesia akibat pandemi COVID-19, namun disisi lain perlu juga menjaga kesehatan agar tidak tertular virus Corona.
“Ini ibarat buah simalakama. Mengejar penanggulangan COVID-19 semata akan kebobolan ekonominya; membuka keran sektor perekonomian semata juga akan kebobolan kesehatan masyarakatnya, bahkan upaya penanggulangan COVID-19 selama ini bisa sia-sia,” ujar Lukman Edy.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyebutkan, masing-masing membawa konsekuensi yang tidak ringan karena kedua opsi ini berhubungan dengan nyawa manusia dengan segala konsekuensinya.
“Anda bisa bayangkan, memperpanjang Work From Home (WFH) berpotensi mengakibatkan orang mati kelaparan. Memang ada gerakan sosial membantu tetangga atau bansos, tapi seberapa kuat bertahan lama? Sedangkan membuka kembali aktivitas ekonomi mengakibatkan korban Corona bergelimpangan,” katanya.
Ibaratnya, tambah Lukman Edy, masing-masing telah memiliki rezim dan jalan pikirannya sendiri. Bagi rezim kesehatan, kerja dari rumah adalah pilihan terbaik.
Mereka pun mendesak pemerintah agar semakin ketat memberlakukan PSBB karena ketidakpatuhan warga di beberapa daerah telah menyebabkan naiknya angka korban terpapar. Padahal, jumlah tim medis makin terbatas lantaran sebagian sudah meninggal dunia akibat pandemi ini juga.
Sementara bagi rezim ekonomi telah merasakan bagaimana PSBB mengakibatkan banyak perusahaan merugi, PHK, pertumbuhan ekonomi mandeg dan apabila dibiarkan, maka perekonomian nasional bisa tumbang.
“Inilah yang mengakibatkan seolah tampak bahwa pemerintah tidak konsisten membuat kebijakan. Padahal sesungguhnya karena masing-masing unit pemerintahan sedang bekerja keras berusaha mengatasi pandemi COVID-19 ini,” jelasnya.
Dengan adanya kebijakan normal baru ini, maka masing-masing pihak harus menyesuaikan, menetapkan basis dasar asumsi kebijakan dan target pencapaian yang baru.
“Begitu pula masyarakat. Jangan lagi mengandaikan asumsi kondisi normal seperti pra COVID-19, dimana kantor-kantor ramai, tempat parkir penuh, mal-mal meriah, kampus-kampus melimpah mahasiswa, sekolah-sekolah dipadati siswa dan jasa antar jemput menyebabkan kemacetan di sepanjang jalan depan sekolah. Jangan lagi membayangkan ada acara-acara pertemuan komunitas atau jamaah-jamaah pengajian yang melibatkan ribuan massa,” tutur Lukman Edy. (net)